Senin, 31 Mei 2010

Pengaruh Model pembelajaran dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas II SMA Negeri 1 Unaaha Tahun Pelajaran 2005/2006.

A. Judul
Pengaruh Model pembelajaran dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas II SMA Negeri 1 Unaaha Tahun Pelajaran 2005/2006.

B. Latar Belakang
Otonomi daerah yang sedang digalakkan membawa angin segar bagi dunia pendidikan, bagaimana tidak sebuah kurikulum baru menekankan otonomi pendidikan. KBK (Kurikulum Berbasis kompetensi) lahir sebagai akumulasi perbaikan-perbaikan kurikulum sebelumnya yang tentunya diharapkan dapat menjadi titik tolak menuju sistem pendidikan nasional yang lebih baik dan layak. KBK adalah kurikulum yang sudah mulai diimplementasikan di sekolah-sekolah dewasa ini, mulai

dari tingkat SD, SMP, dan SMA sebagai wujud demokratisasi pendidikan karena di sekolah-sekolah diberi keleluasaan mengembangkan sendiri silabus pendidikannya, maka KBK menurut Siskandar dalam harian Kompas (2002:7) menyatakan bahwa, KBK nantinya akan berfungsi sebagai national platform, secara tidak langsung ini merupakan bentuk lain dari kepercayaan pusat pada daerah.
Dari sisi terlihat begitu berat beban guru dalam menerjemahkan KBK pengimplementasian KBK benar-benar menuntut sosok guru yang memang pantas menjadi guru, KBK lebih menuntut peran aktif guru karena parameter keberhasilan justru pada kompetensi dasar yang harus diperoleh peserta didik artinya guru harus mampu meningkatkan kualitas proses belajar dan mengajar di kelas sehingga nantinya berakibat bagi pengembangan mutu sumber daya peserta didik.
Guru secara tidak langsung dituntut harus dapat mengembangkan pola pelajaran yang dapat melibat aktifkan siswa dalam belajar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, model pengajaran matematika yang diterapkan sejak awal hingga sekarang masih bersifat konvensional. Dimana sistem penyampaiannya lebih banyak didominasi oleh guru yang mengajarnya cenderung bersifat instruktif, serta proses komunikasinya satu arah. Guru yang memegang kendali memainkan peran aktif, sementara siswa duduk menerima secara pasif informasi pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa cenderung diam dan kurang berani menyatakan gagasannya. Kretifitas dan kemandirian mengalami hambatan dan bahkan tidak berkembang. Banyak siswa yang tadinya kreatif dan kritis menjadi apatis karena suasana belajar dalam kelas kurang mendukung. Tidak sedikit siswa merasa terlambat proses kedewasaan karena gaya-gaya pembelajaran melemahkan semangat belajar siswa, karena kurang demokratif, kurang kolaboratif dan lain-lain. Kondisi pembelajaran di atas sesuai dengan model pembelajaran yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Unaaha selama ini. Oleh karena itu guru matematika perlu memahami dan mengembangkan berbagai bentuk metode dan keterampilan mengajar dalam mengajarkan matematika guna membangkitkan motivasi siswa agar mereka belajar dengan antusias. Lebih dari itu siswa juga merasa ambil bagian dan berperan aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Salah satu yang dapat ditempuh guru adalah mengembangkan pola pengajaran yang menekankan kerjasama antar siswa. Hal senada dikemukakan Jean D. Crambs dalam Rohani (1991:11) mengatakan bahwa, untuk membentuk individu siswa menjadi manusia yang demokratis, guru menekankan prinsip kerjasama atau kerja kelompok, berkaitan dengan ini Crambs sangat memperhatikan apa yang dinamakan “Group Process” atau proses kelompok yaitu cara individu mengadakan relasi dan kerjasama dengan individu lain untuk mencapai tujuan kerjasama, atau dengan kata lain guru menerapkan model pengajaran kooperatif. Contoh pembelajaran kooperatif tipe STAD, tipe ini sangat sederhana karena hanya membagi siswa beberapa kelompok kecil (3 – 5 orang/kelompok) dan merupakan campuran tingkat kemampuan, jenis kelamin dan suku. Model pengajaran ini pada hakekatnya adalah menggali dan mengembangkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar dan ini sangat baik untuk diterapkan pada mata pelajaran yang dirasakan guru sangat sulit dipahami siswa dan salah satunya adalah mata pelajaran matematika.
Matematika secara umum sangat sulit dipahami oleh siswa, karena matematika memiliki obyek yang sifatnya abstrak dan membutuhkan penalaran yang cukup tinggi untuk memahami setiap konsep-konsep matematika yang sifatnya hirarkis, sehingga perlu menerapkan model-model pengajaran yang lebih baik dan tepat membantu penguasaan siswa sedini mungkin di tingkat sekolah terhadap matematika. Tetapi perlu kita garis bawahi pula sebuah pengajaran yang baik tidak cukup untuk mendapatkan hasil belajar siswa yang optimal, karena seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Rohani (1991:10) bahwa yang menjadi salah satu masalah yang dihadapi guru untuk menyelenggarakan pengajaran adalah bagaimana memotivasi dan menumbuhkan dalam diri peserta didik secara efektif keberhasilan suatu pengajaran sangat dipengaruhi oleh adanya penyediaan motivasi/dorongan dari dalam diri siswa untuk mempelajari matematika, sering ditemui beberapa kesukaran yang dialami seorang guru untuk memotivasi siswanya adalah tidak adanya alat, metode atau teknik tertentu yang dapat memotivasi peserta didik dengan cara yang sama atau dengan hasil yang sama. Dari sini dapat dilihat bahwa motivasi belajar dan sebuah model pengajaran sangat berkaitan erat satu sama lain karena beberapa cara untuk menumbuhkan motivasi adalah juga melalui cara mengajar yang bervariasi., mengadakan pengulangan informasi, memberikan stimulus baru dan lain sebagainya, secara umum peserta didik akan terangsang untuk belajar (terlibat aktif dalam pengajaran) apabila ia melihat bahwa situasi pengajaran cenderung memuaskan dirinya sesuai kebutuhannya.
Demikian hal di atas dipertegas lagi oleh Sudjana (1998:39) yang menyatakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh siswa sangat dipengaruhi oleh 2 faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu, misalnya kemampuan yang dimilikinya dan faktor lain berupa motivasi, sikap dan lain sebagainya dan faktor yang datang dari luar diri siswa yakni lingkungan belajar dan salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar siswa di sekolah adalah kualitas pembelajaran, sehingga menjadi alasan yang kuat bagi peneliti untuk mengetahui seberapa besar pengaruh model pembelajaran yakni model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran konvensional dengan motivasi belajar siswa yang tinggi maupun yang rendah yang merupakan pendorong yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktifitas tertentu, untuk mencapai tujuan yakni hasil belajar yang maksimal.
Berdasarkan pandangan di atas, peneliti merasa tertarik mengangkat judul “Pengaruh Model Pembelajaran dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas II SMA Negeri 1 Unaaha”.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha tahun pelajaran 2005/2006 yang diajar dengan model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran kooperatif (tipe STAD)?
2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha tahun pelajaran 2005/2006 yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah?
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar matematika siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha tahun pelajaran 2005/2006?
4. Untuk kelompok yang mempunyai motivasi tinggi, apakah hasil belajar matematika siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif (tipe STAD) lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional?
5. Untuk kelompok yang mempunyai motivasi rendah, apakah hasil belajar matematika siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif (tipe STAD) lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha yang diajar dengan model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran kooperatif.
2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah.
3. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar matematika siswa kelas II SMA Negeri 1 Unaaha tahun pelajaran 2005/2006.
4. Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif (tipe STAD) lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional, untuk kelompok yang mempunyai motivasi tinggi.
5. Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif (tipe STAD) lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional, untuk kelompok yang mempunyai motivasi rendah.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru, diharapkan dapat menjadi masukan dalam memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai model pembelajaran dan motivasi belajar dalam upaya meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
2. Bagi siswa, dapat mempermudah cara belajar siswa yang mengalami kesulitan dalam meningkatkan hasil belajar matematika.
3. Sebagai bahan masukan bagi sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran matematika.
4. Bagi peneliti bidang yang sejenis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.
F. Kajian Pustaka
F1. Kajian Teori
1. Hasil belajar Matematika
1.a. Pengertian Belajar
Beberapa ahli pendidikan memberikan definisi belajar secara berbeda yang pada prinsipnya mempunyai maksud yang sama, seperti yang dinyatakan oleh Anwar (1990:98) mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan dari setiap tingkah laku yang merupakan pendewasaan/pematangan atau yang disebabkan oleh suatu kondisi dari organisme. Suharto (1997:6) juga berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, pandangan dan keterangan yang akan menghasilkan suatu kekuatan pemecahan sesuatu bagi seseorang menghadapi suatu keadaan tertentu.
Selanjutnya Hudoyo (1998:107) mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau pengetahuan baru sehingga timbul perubahan tingkah laku, misalnya setelah belajar seorang mampu mendemonstrasikan dan keterampilan dimana sebelumnya siswa tidak dapat melakukannya. Pendapat serupa dikemukakan Hamalik (1983:21) bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan dalam diri siswa yang nyata serta latihan yang kontinu, perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.
Burton dalam Usman (1993:4) mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya. Sukardi dan Maramis (1998:189) berpendapat bahwa belajar adalah perubahan perilaku anak didik secara bertahap, melalui proses terencana dan bertahap sehingga siswa pada akhir proses belajar mempunyai kemampuan atau keterampilan sesuai dengan apa yang dituju oleh sistem belajar mengajar bersangkutan.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses aktifitas siswa dalam interaksinya dengan lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan.


1.b. Pengertian Belajar Mengajar Matematika
Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisir atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar (nasution, 1995:4). Mursell (1995:2) berpendapat bahwa mengajar dikatakan sukses apabila anak-anak dapat mengemukakan apa yang dipelajarinya dengan bebas serta penuh kepercayaan dalam berbagai situasi dalama hidupnya, pendapat serupa dikemukakan Bruner dalam Usman (1993:5) bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem, atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh setiap siswa.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu usaha mengorganisir lingkungan dalam hubungannya dengan siswa dan bahan pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya proses belajar yang menyenangkan pada diri siswa. Jadi yang akan menentukan keberhasilan suatu proses mengajar adalah pengajar itu sendiri.
Berkaitan dengan belajar mengajar matematika harus memperhatikan karakter matematika, ada beberapa karakteristik matematika antara lain: materi matematika bersifat hirarkis, obyek matematika bersifat abstrak, penalaran matematika bersifat deduktif (Hudoyo, 1998:3).
Dilihat dari ciri khusus matematika yang dikemukakan di atas seorang siswa belajar matematika harus secara kontinu, karena belajar matematika yang terputus-putus akan mengakibatkan siswa tidak memahami konsep matematika berikutnya. Selanjutnya guru hendaknya mengaitkan suatu konsep matematika sebelumnya dengan konsep matematika yang akan diajarkan. Oleh sebab itu pengalaman belajar matematika yang lalu dari para siswa sangat menentukan untuk memahami konsep matematika yang baru.
1.c Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar siswa adalah produk yang menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa bagi dari segi kualitas maupun kuantitas, keberhasilan pengajaran dapat dilihat dari segi hasil. Asumsi dasar adalah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar optimal pula, ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai, makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu (Davies, 1987:91).
Menurut Sudjana (1998:39) mengemukakan bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu: faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa terutama kemampuan yang dimiliki, disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap, kebiasaan belajar, dan lain sebagainya. Sebab hakekat perbuatan belajar adalah perubahan tingkah laku individu yang diniati dan disadarinya. Siswa harus merasakan adanya suatu kebutuhan untuk belajar dan berprestasi, ia harus berusaha mengerahkan segala daya dan upaya untuk dapat mencapainya sungguhpun demikian, hasil yang dapat diraih masih juga bergantung dari lingkungannya, artinya ada faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Sudjana (1998:40) berpendapat bahwa salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar pada hakekatnya tersirap dalam tujuan pembelajaran.
Dari pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa hasil belajar matematika ialah produk yang mencerminkan penguasaan siswa secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap tujuan pengajaran matematika tertentu yang pada hakekatnya hasil belajar matematika dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki oleh siswa dan kualitas pengajaran matematika.
2. Model Pembelajaran
2.a Model Pembelajaran Kooperatif
Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model pembelajaran yang telah dikembangkan dan diuji keberlakuannya oleh pakar pendidikan, umumnya berorientasi kepada pengembangan kemampuan peserta didik dalam mengolah dan mengatasi informasi yang diterima oleh mereka dengan menitikberatkan aspek intelektual akademis.
Ada beberapa model pembelajaran, antara lain model pembelajaran langsung, model pembelajaran konseptual, konvensional dan model pembelajaran kooperatif, masing-masing model pembelajaran memiliki ciri yang berbeda-beda. Model pembelajaran kooperatif khususnya memiliki ciri yaitu mengutamakan kerjasama antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu jenis pembelajaran dari kelompok model pembelajaran sosial, model pembelajaran ini mengutamakan kerjasama antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Anonim (2002:20) yang menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selanjutnya Hamalik (1991:23) juga mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tujuan dirangkum oleh setiap anggota kelompok, jadi tujuan pembelajaran hanya mungkin tercapai jika ada kerjasama antara anggota kelompok.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa belajar. Fase ini diikuti bimbingan guru pada saat bekerja sama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka.
Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentase hasil akhir kerja kelompok dan evaluasi tentang materi yang mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Enam tahap pembelajaran kooperatif itu dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase-Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3:
Mengorganisir siswa dalam kelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengajarkan tugas mereka
Fase 5:
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya
Fase 6:
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

Pembelajaran kooperatif, dapat mengubah peran guru dari peran berpusat pada gurunya kepengelolaan siswa dalam kelompok kecil. Selain itu juga dalam model pembelajaran kooperatif tugas penilaian mengutamakan pendekatan kooperatif secara tradisional dengan penghargaan perorangan dan penghargaan perkelompok, walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, tetapi terdapat beberapa variasi dari model tersebut diantaranya adalah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan STAD.
2.a.1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Penetapan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruihi pola-pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan isi akademik. Model ini dikembangkan oleh Slavin dalam Nur (2002:32) dengan melibatkan siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut.
Langkah-langkah berikut ini menguraikan bagaimana mengantarkan siswa kepada pembelajaran STAD sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penelitian ini, yang dijelaskan sebagai berikut:
Langkah 1: Persiapan. Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pembelajaran dengan membuat skenario pembelajaran, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD).
Langkah 2: Pembentukan Kelompok. Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu guru membagi siswa ke dalam kelompok atau tim yang beranggotakan 4 hingga 5 orang, kelompok-kelompok ini terdiri dari siswa yang berkemampuan heterogen selain itu diperhitungkan kriteria heterogenitas lainnya seperti nilai prestasi beragam jenis kelamin dan ras serta tidak ada ketua kelompok.
Langkah 3: Diskusi Masalah. Dalam kerja kelompok guru membagikan LKS pada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari, dalam kerja kelompok bahwa setiap siswa berpikir bersama menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap orang mengetahui jawaban pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 4: Membimbing siswa bekerja dan belajar secara kelompok. Kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
- Membagikan LKS atau materi pelajaran (dua set) untuk tiap tim.
- Menganjurkan agar siswa tiap-tiap tim bekerja dalam berpasangan apabila mereka sedang mengerjakan soal, kemudian saling mengecek pekerjaannya diantara teman pasangannya.
- Apabila siswa tidak dapat mengerjakan soal itu, teman satu tim siswa memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan soal tersebut.
- Memberi penekanan pada siswa bahwa mereka tidak boleh mengakhiri kegiatan belajar mengajar sampai mereka yakin bahwa seluruh anggota tim mereka dapat menjawab 100% benar soal-soal kuis tersebut.
- Memastikan siswa memahami bahwa LKS itu untuk belajar bukan untuk diisi atau dikumpulkan.
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menjelaskan jawaban mereka tidak hanya saling mencocokkan jawaban mereka dengan lembaran kunci jawaban.
- Apabila siswa memiliki pertanyaan, guru meminta mereka mengajukan pertanyaan itu pada rekan satu timnya sebelum mengajukan kepada guru.
- Pada saat siswa sedang bekerja dalam tim, guru hendaklah berkeliling dalam kelas dan memberikan pujian pada tim yang bekerja dengan baik dan secara bergantian duduk bersama tim untuk memperhatikan anggota-anggota tim itu bekerja.
Langkah 5: Membuat Skor Individual dan Skor Tim. Guru menghitung skor tim dengan menjumlahkan poin peningkatan yang diperoleh tiap anggota tim dan membagi jumlah itu dengan jumlah anggota tom yang mengerjakan kuis.
Langkah 6: Pengakuan pada Prestasi Tim. Guru hendaknya mempersiapkan semacam pengakuan kepada setiap tim yang mencapai skor tinggi yang berupa pujian untuk memotivasi siswa agar lebih giat dalam menyelesaikan tugas yang diberikan dan dilaksanakan sebelum proses pembelajaran dimulai.
2.b. Model Pembelajaran Konvensional
Menurut Pangaribuan (1997:75) pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan kebiasaan, dimana pembelajaran ini merupakan pembelajaran tradisional mempersiapkan siswa untuk belajar secara individu dan kompetitif untuk memahami pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur yang berasal dari pengajar sebagai pusat pembelajaran.
Adapun tahap-tahap dalam pembelajaran konvensional yaitu:
1. Tahap persiapan: pada tahap ini guru mempersiapkan perangkat pembelajaran, antara lain rencana pembelajaran dan topik atau materi pelajaran.
2. Tahap pembelajaran: tahap ini merupakan tahap dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang terdiri dari:
- Guru membuka pelajaran, menjelaskan TPK dan memotivasi siswa.
- Kegiatan inti yaitu guru memberikan materi, mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan umpan balik serta memberikan latihan dan terapan konsep.
- Guru menutup pelajaran dan memberikan tugas kepada siswa.
3. Tahap evaluasi: Guru mengevaluasi belajar siswa dengan memberikan tes, baik tugas maupun ulangan, serta mengumpulkan skor siswa.
Selanjutnya menurut Ismail (2000:14) bahwa, pada model pembelajaran konvensional terdapat fase dan peran guru yang sangat penting, yang disajikan dalam tabel berikut ini:


Tabel 2. Fase dan Peran Guru dalam Model Pembelajaran Konvensional
Fase Peran Guru
1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa Menjelaskan TPK, materi prasyarat, memotivasi siswa dan mempersiapkan siswa
2. Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan Mendemonstrasikan keterampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap
3. Membimbing pelatihan Guru memberikan latihan terbimbing
4 Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Mengecek kemampuan siswa dan memberi umpan balik
5. Memberikan latihan dan penerapan konsep Mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari.

Perbedaan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional menurut Jonson dan Jonson dalam Kadir (2000:60) dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Konvensional
No. Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
1. Kepemimpinan bersama Satu pimpinan
2. Saling ketergantungan positif Tidak ada saling ketergantungan
3. Keanggotaan yang heterogen Keanggotaan homogen
4. Mempelajari keterampilan-keterampilan kooperatif Asumsi adanya keterampilan sosial

5. Tanggung jawab terhadap hasil belajar oleh seluruh anggota kelompok Tanggung jawab terhadap hasil belajar sendiri
6. Menekankan pada tugas dan hubungan kooperatif Hanya menekankan pada tugas
7. Ditunjang oleh siswa Diarahkan oleh guru
8. Satu hasil kelompok Beberapa hasil individu
9. Evaluasi kelompok Evaluasi individual

3. Motivasi Belajar
3.a. Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan suatu pendorong untuk berbuat dengan tujuan mencapai tujuan hidup, yang mendominir tingkat usaha dalam belajar.
Menurut Purwanto (1990:73) mengartikan bahwa, motivasi adalah usaha yang didasari untuk menggerakkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Hudoyo (1998:3) mengemukakan bahwa, motivasi adalah kekuatan pendorong yang ada dalam diri orang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan.
3.b. Motivasi Belajar Matematika
Berdasarkan definisi motivasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kekuatan-kekuatan yang kompleks, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, pernyataan-pernyataan keterangan atau mekanisme-mekanisme lainnya yang memulai dan menjaga kegiatan-kegiatan yang diinginkan ke arah pencapaian tujuan-tujuan personal.
Jika ditinjau dari sumbernya, motivasi terdiri atas dua bagian yaitu: motivasi yang timbul dari dalam diri orang yang bersangkutan tanpa rangsangan dari luar. Kegiatan dimulai dan dilaksanakan karena adanya dorongan yang langsung berkaitan dengan kegiatan tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul akibat adanya rangsangan dari luar.
Selanjutnya beberapa ahli mengemukakan mengenai motivasi belajar, menurut Sardiman (1986:75) mengemukakan bahwa, motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki dari subyek belajar; dapat dicapai, sedangkan menurut W.S. Winkel (1991:3) mengemukakan bahwa, motivasi belajar terbagi atas 2 bagian yaitu motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah model motivasi yang di dalam aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.
Ciri-ciri seseorang memiliki motivasi adalah tekun menghadapi tugas matematika, ulet menghadapi kesulitan. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih sering bekerja sendiri, tidak bosan terhadap tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat, dan sering membaca dan memecahkan masalah dari soal-soal (Sardiman, 1986:39).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka motivasi belajar adalah tenaga penggerak/kekuatan pendorong, baik intrinsik maupun ekstrinsik yang menyebabkan siswa melakukan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan dalam belajar melalui hasil belajar yang optimal/cukup.
F2. Kerangka Berpikir
Hasil belajar akan dicapai dengan baik oleh siswa ditentukan oleh aktivitas guru, siswa dan kegiatan proses belajar mengajar di kelas.
Proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antar sesama siswa dalam kelompok belajarnya untuk mencapai tujuan belajarnya. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD karena pembelajaran ini menekankan kerjasama yang positif dan bertanggung jawab baik secara kelompok maupun secara individual dibanding dengan pembelajaran konvensional yang tidak menekankan adanya kerjasama/saling ketergantungan dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar sendiri. Namun, hasil belajar tidak cukup jika hanya melalui model pembelajaran yang baik karena semua ini masih dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa yakni motivasi belajarnya sebagai dorongan dalam dirinya untuk belajar. Tinggi rendahnya motivasi belajar memungkinkan tujuan pembelajaran berhasil tidaknya dengan baik.
Berdasarkan pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran dan motivasi belajar saling mempengaruhi satu sama lain dalam menciptakan hasil belajar yang lebih baik tentunya.

Baca Selengkapnya......

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam upaya perbaikan sistem pendidikan, guru adalah salah satu faktor yang semakin diperhitungkan keberadaannya. Hal ini penting karena peranan guru dalam pembelajaran sangat menentukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas di sekolah. Karena peranannya yang sangat penting ini, maka dalam rangka inovasi pembelajaran perlu sekali guru menyusun, mengembangkan, dan

meningkatkan gaya dan metode pembelajaran agar mampu melahirkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kelas, sebagai salah satu solusi terhadap masalah yang dihadapi siswa.
Dalam proses pembelajaran di kelas khususnya pelajaran matematika, guru masih belum mampu menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan materi dan karakter siswa yang diajarnya. Dengan kata lain guru belum dapat mengaplikasikan model pembelajaran yang sesuai dengan bidang studi yang diembannya sehingga berakibat pada kemampuan siswa yang rendah dan tidak merata.
Kenyataan di sekolah sering dijumpai sejumlah siswa memperoleh prestasi belajarnya jauh di bawah ukuran rata-rata bila dibandingkan dengan prestasi belajar yang diperoleh teman-temannya di kelas. Banyak ditemui pula sejumlah siswa yang diharapkan memperoleh hasil belajar yang tinggi, akan tetapi prestasinya biasa saja, bahkan lebih rendah dari teman-temannya. Rendahnya prestasi belajar tersebut, seperti yang dilontarkan oleh banyak pihak tertentu tidak lepas kaitannya dengan proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Hal serupa juga terjadi di MAN 1 Kendari.
Hasil pengamatan peneliti terlihat bahwa dalam proses pembelajaran, guru masih mendominasi pelaksanaan proses belajar mengajar dan kurang mengaktifkan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini berakibat pada rendahnya prestasi belajar siswa khususnya di kelas XI IPA1 MAN 1 Kendari. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru MAN 1 Kendari diperoleh kesimpulan bahwa rata-rata hasil belajar matematika siswa hanya sebesar 5,65, lebih rendah dari rata-rata minimal yang ditargetkan sekolah.
Oleh karena itu, sebagai upaya meningkatkan hasil belajar matematika khususnya di MAN 1 Kendari di pandang perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar akademik, sikap, keterampilan dan nilai-nilai pada siswa, bahkan kerja sama dan interaksi sosial saling ketergantungan kelompok dalam struktur tugas untuk mencapai tujuan belajar menjadi terfokus ke arah yang lebih.
Dari uraian di atas, penulis mengadakan penelitian dengan judul: “Aplikasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam Pengajaran Konsep Limit dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas XI IPA1 MAN 1 Kendari”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah gambaran hasil belajar matematika siswa sebelum diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit ?
2. Bagaimanakah gambaran hasil belajar matematika siswa sesudah diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit?
3. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar matematika siswa sebelum diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan sesudah diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh gambaran hasil belajar matematika siswa sebelum diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit.
2. Untuk memperoleh gambaran hasil belajar matematika siswa sesudah diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit .
3. Untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar matematika siswa sebelum diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan sesudah diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam konsep limit.


D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi siswa, penekanan hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, melatih siswa untuk menghargai orang lain dan melatih siswa mengembangkan keterampilan.
2. Bagi guru, sebagai bahan informasi bahwa sebaiknya pembelajaran kooperatif tetap dilaksanakan dan dikembangkan dalam upaya mengaktifkan belajar siswa serta membantu membangkitkan minat siswa dalam belajar matematika.
3. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep limit dan pembelajarannya sesuai dengan penelitian ini.
4. Bagi sekolah, dapat memberikan sumbangan yang baik dan berguna dalam rangka perbaikan pembelajaran mata pelajaran matematika.
E. Definisi Operasional
1. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah suatu model pembelajaran yang mengacu pada belajar kelompok dengan menyajikan informasi pelajaran di mana siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 4 atau 5 orang dengan pertimbangan kemampuan akademik atau tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku yang berbeda.
2. Pembelajaran konvensional adalah proses pembelajaran di mana guru melaksanakan proses belajar mengajar secara klasikal yang didominasi dengan metode ceramah.
3. Prestasi belajar matematika adalah hasil belajar matematika siswa yang diperoleh siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD maupun siswa yang diajar dengan pengajaran konvesional setelah diberikan tes pada konsep limit
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang mengandung serangkaian persiapan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar mengajar terdapat adanya suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan antara guru yang mengajar dan siswa yang belajar. Antara dua kegiatan ini terdapat dua interaksi yang saling menunjang. Hamalik (1985:40) berpendapat bahwa belajar terjadi apabila terdapat perubahan perilaku yang kognitif, efektif dan psikomotor, yang relatif tetap. Hal ini disebabkan adanya berbagai pengaruh akibat interaksi dengan lingkungan, sedangkan segala upaya sadar dan sistematika untuk mempengaruhi sistem lingkungan sehingga diperoleh pengalaman belajar disebut dengan mengajar.
Dalam hal mengajar matematika, pengajar harus mampu memberikan intervensi yang cocok. Bila pengajar menguasai dengan baik materi pelajaran matematika yang diajarkan. Karena itu merupakan syarat esensial bahwa mengajar matematika harus menguasai materi matematika yang diajarkan. Namun penguasaan terhadap materi pelajaran belumlah cukup. Agar siswa berpartisipasi aktif dalam belajar, guru seyogyanya memahami teori belajar sehingga belajar matematika akan menjadi bermakna bagi siswa. Peristiwa tersebut terlihat bila dalam mengajar terjadi interaksi dua arah antara pengajar dan siswa. Belajar dan mengajar matematika adalah dua kegiatan yang saling mempengaruhi. Proses atau kegiatan yang dapat menentukan hasil belajar dan mengajar dipandang sebagai suatu proses komperenship yang harus diarahkan untuk kepentingan siswa.
Tujuan sistem matematika dalam kaitannya dengan belajar mengajar matematika adalah; (1) Penanaman pengertian (concept formation), anak harus tahu dengan jelas arti kata yang dipakai, (2) Penyusunan logis tiap-tiap dalil harus dibuktikan dengan kata lain bagaimana cara mendapatkannya, dan (3) Kecakapan menggunakan matematika (problem solving).
Berdasarkan pendapat di atas, maka seorang guru di sekolah berkewajiban untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswanya agar semua kemampuan yang ada pada matematika dapat dimilikinya, yaitu; (1) Mengaplikasikan matematika, (2) Memanipulasi secara matematika, (3) Mengorganisasi data, (4) Manfaat simbol atau lambang, (5) Mengenal pola, (6) Membuat interpretasi fisis dari matematika, dan (7) Menarik kesimpulan dari matematika.

B. Prestasi Belajar Matematika
Secara umum prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar dalam kurun waktu tertentu. Dalam kasus Bahasa Indonesia (Anonim, 1990: 700) disebutkan bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai dari apa yang telah dilakukan/dikerjakan. Winkel (1984: 102) mengatakan bahwa prestasi adalah bukti keberhasilan suatu usaha yang dicapai.
Menurut Buchori (1992:28), prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang diperoleh dari belajar yang dapat berupa pengetahuan, keterampilan dan dapat pula perubahan sikap. Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara beberapa faktor yang mempengaruhinya dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu.
Menurut Ahmad dan Widodo (1991:130–131) prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara meliputi:
a. Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh dari hasil interaksi misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dan lain sebagainya.
b. Faktor psikologis yang bersifat bawaan yang diperoleh dari:
(1) Faktor intelektif yang meliputi:
- Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat
- Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki
(2) Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan motivasi, emosi dan penguasaan diri.
(3) Faktor kematangan fisik dan psikis
Sedangkan faktor eksternal adalah meliputi:
a. Faktor sosial, yaitu terdiri atas keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok.
b. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik seperti rumah, fasilitas belajar dan iklim.
d. Faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
Prestasi belajar matematika diperoleh dari suatu proses belajar matematika. Prestasi belajar matematika merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam diri seseorang setelah melakukan suatu proses belajar matematika. Jadi, jika seseorang mempelajari matematika maka ia akan memperoleh hasil dari bidang studi matematika yang dipelajarinya.
Dengan demikian, prestasi belajar matematika dapat diartikan sebagai hasil atau nilai yang diperoleh seseorang setelah mempelajari matematika dengan standar penilaian yang telah ditentukan.
C. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran.
Proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD dimulai dengan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil (4 – 5 siswa perkelompok). Setiap kelompok ditempatkan di dalam kelas sedemikian rupa sehingga antara anggota kelompok dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tanpa mengganggu kelompok lainnya. Guru membagi materi pelajaran, baik berupa lembar kerja siswa, buku dan penugasan. Selanjutnya guru menjelaskan tujuan belajar yang ingin dicapai dan memberikan pengarahan materi yang harus dipelajari dan permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan. Siswa secara sendiri-sendiri mempelajari materi pelajaran, dan jika ada kesulitan mereka saling berdiskusi dengan teman-temannya dalam kelompok. Untuk penguasaan materi pelajaran atau penyelesain tugas-tugas yang telah ditentukan, setiap siswa dalam kelompok ikut bertanggungjawab secara bersama-sama. Evaluasi dilakukan berdasarkan pencapaian hasil belajar kumulatif dalam kelompok. Untuk itu penguasaan materi pelajaran setiap siswa sangat ditekankan dalam strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Pendekatan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat terlihat pada Tabel 1. berikut :
Tabel 1. Pendekatan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pendekatan Khusus STAD
Tujuan kognitif
Tujuan sosial
Struktur kelompok
Pemilihan topik
Tugas utama

Penilaian
Pengalaman Informasi akademik sederhana
Kerjasama dalam kelompok
Kelompok heterogen dengan 4 – 5 orang angggota
Biasanya guru
Siswa dapat menggunakan LKS dan saling membantu untuk menuntaskan materi belajarnya
Tes mingguan
Lembar pengakuan dan publikasi lain
(Marpaung, dkk, 2002 : 24)
Keunggulan sistem STAD adalah adanya kerjasama dalam kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok tergantung keberhasilan individu sehingga setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain. Setiap siswa mendapat kesempatan sama untuk menunjang timnya mendapat nilai maksimum sehingga termotivasi untuk belajar. Dengan demikian, setiap individu merasa mendapat tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri sehingga pembelajaran kooperatif dapat berjalan bermakna dan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal sesuai dengan harapan kurikulum.
Model pembelajaran kooperatif selain unggul dalam membantu siswa, memahami konsep-konsep sulit, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerjasama. Adapun langka-langka pembelajaran kooperatif seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase ke Indikator Tingkah Laku Guru
1 Penyampaian tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan yang dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
2 Menyampaikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dimana masing-masing kelompok mempresentasikan hasil karyanya.
6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara untuk menghargai baik upaya hasil belajar individu dan kelompok
(Ibrahim 2000 : 10)
Model pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran, didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai satu penghargaan bersama. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas unsur-unsur sebagai berikut :
a. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
c. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
d. Siswa haruslah membagi tugas dan bertanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
b. Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
c. Siswa membagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
d. Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.


Pembelajaran yang menggunakan model kooperatif tipe STAD memiliki ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah dan beranggotakan 4 – 5 orang.
c. Bilamana memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin berbeda-beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.

D. Model Pembelajaran Konvensional
Pengajaran konvensional berarti menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Iskandar Widya Kusuma dalam Fidia (2002 : 9) bahwa :
“Pembelajaran secara konvensional diartikan melakukan tugas dengan mendasarkan ciri tradisi atau apa yang telah dilaksanakan oleh para guru atau pendidik dahulu tanpa ada usaha untuk memperbaiki diri dan daya kreasi yang ada padanya”.

Titik berat dari teori konvensional adalah bakat IQ (Intellegence Quoteont) siswa dalam hubungannya dengan tingkat keberhasilan mereka dalam menguasai bidang tertentu. Jika siswa tersebar secara formal dengan bakat/pembawaan IQ masing-masing terhadap bidang studi dan kepada siswa-siswa tersebut dikenakan kondisi (pengajaran) yang benar-benar sama maka sebagai hasil akhir adalah tingkat penguasaan mereka terhadap bidang studi tersebut.
Adapun pelaksanaan model pembelajaran konvensional didominasi oleh metode ceramah, yakni guru menjelaskan sementara siswa memperhatikan dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
Adapun langkah-langkah pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa
b. Mendemonstrasikan pengatahuan dan keterampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman siswa dan memberikan umpan balik
e. Memberikan latihan dan penerapan konsep
f. Menutup pelajaran
E. Perbedaan antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Model Pembelajaran Konvensional

Perbedaan antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan model pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Perbedaan Pembelajaran Konvensional dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

No. STAD Konvensional
1. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil Tidak dibagi dalam kelompok
2. Penghargaan lebih berorientasi kelompok Tidak ada penghargaan
3. Lebih banyak siswa yang aktif Guru yang aktif atau mendominasi

Pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi kelompok bawah, jadi kelompok bawah memperoleh bantuan khusus dan teman sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan pembelajaran konvensional tidak memberikan keuntungan yang merata. Kelompok atas akan semakin pintar dan kelompok bawah akan semakin tertinggal karena siswa
F. Kerangka Berpikir
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil yang dicapai oleh siswa tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam diri siswa maupun dari luar diri siswa. Dari pihak siswa ialah bakat, motivasi belajar, ketekunan, waktu dan kelengkapan sarana di rumah, sedangkan dari luar pihak siswa misalnya kemampuan guru yang baik dan disiplin di sekolah serta dorongan dan perhatian dari orang tua.
Kegiatan pembelajaran dan model pembelajaran kooperatif pendekatan STAD merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini selain terjadi interaksi antara guru dengan siswa juga interaksi antara siswa dan siswa, khususnya siswa yang mengalami kesulitan belajar cenderung lebih berani bertanya kepada teman-temannya daripada guru, bahkan ada pula siswa yang justru belajar lebih banyak karena harus mengajar temannya. Dalam kondisi ini memungkinkan prestasi belajar siswa dapat meningkat.

Baca Selengkapnya......

Hubungan antara Kemampuan Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 2 Bau-Bau

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu wujud kebudayaan manusia yang selalu tumbuh dan berkembang, tetapi kadang kala mengalami penurunan kualitas sehingga hancur perlahan-lahan seiring dengan perkembangan zaman. Peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan

manusia seutuhnya dan turut mendukung perkembangan kebudayaan pada arah yang positif. Pendidikan menjadi bermakna apabila secara pragmatis dapat mendidik manusia dapat hidup sesuai dengan zamannya. Pendidikan harus dilihat sebagai wahana untuk membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan guna menjalani dan mengatasi masalah kehidupan pada hari esok maupun masa depan yang selalu berubah (www.Depdiknas 2004: 1).
Dalam keseluruhan upaya pendidikan, Proses Belajar Mengajar merupakan aktivitas yang paling penting, karena melalui proses itulah tujuan pendidikan akan dicapai dalam bentuk perubahan perilaku siswa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 pasal 3 Tahun 2003, yaitu pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tercapainya tujuan pendidikan di atas, akan ditentukan oleh berbagai unsur yang menunjangnya. Makmun (1996: 3-4) menyatakan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam proses belajar mengajar, yaitu: (1) siswa dengan segala karakteristiknya yang berusaha untuk mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui kegiatan belajar, (2) tujuan adalah sesuatu yang diharapkan dicapai setelah adanya kegiatan belajar mengajar, (3) guru yang selalu mengusahakan terciptanya situasi yang yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan bagi terjadinya proses pengalaman belajar.
Dari uraian di atas, tampaklah dua posisi subjek, guru sebagai pihak yang mengajar dan siswa sebagai pihak yang belajar. Hal ini mengimplikasikan bahwa Proses Belajar Mengajar merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa yang didasari oleh hubungan yang bersifat mendidik dalam rangka pencapaian tujuan (Surakhmad, 1994: 52).
Keberhasilan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peran penting guru. Dalam dunia pendidikan, guru memegang peranan penting dan strategis. Sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih siswa, guru merupakan agen perubahan sosial yang mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih mandiri (Sukadi 2007: 2).
Pendidikan berkaitan dengan pengiriman pengetahuan sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek lainnya dari pendidik kepada si terdidik. Salah satu komponen pendidikan adalah guru, yang dalam lingkungan sekolah adalah pengajar yang bertanggung jawab atas proses pendidikan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu kemampuan yang harus dipersiapkan guru meliputi penguasaan terhadap komponen pengajaran sangat berperan penting dalam menunjang keberhasilan belajar siswa (Kunandar, 2007: 33).
Di samping itu, guru merupakan suatu profesi karena dalam menjalankan tugasnya didukung oleh penguasaan sejumlah ilmu pengetahuan, integritas dan komitmen moral yang tinggi. Sebagai suatu profesi, maka guru dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal merencanakan program belajar mengajar dan menguasai bahan pengajaran (Sudjana, 1995: 17).
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dalam proses belajar mengajar. Sebagai contoh lingkungan tempat tinggal siswa, peran orang tua siswa, fasilitas belajar siswa, kreativitas siswa, dan lain-lain. Tetapi disamping komponen-komponen pokok di atas, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi motivasi belajar, yaitu kemampuan mengajar guru itu sendiri. Kemampuan mengajar guru adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, guru harus mampu menciptakan situasi yang dapat menunjang perkembangan belajar siswa, termaksud dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa, guru dituntut untuk menampilkan kemampuan mengajar yang ideal dalam Proses Belajar Mengajar. Surya (1996: 67) mengemukakan guru sebagai motivator belajar bagi siswanya, harus mampu untuk (1) membangkitkan dorongan siswa untuk belajar, (2) menjelaskan secara kongkrit kepada siswa apa yang dapat dilakukan pada akhir pelajaran, (3) memberikan ganjaran untuk prestasi yang dicapai kemudian hari, (4) membuat regulasi (aturan) perilaku siswa.
Kemampuan mengajar guru erat hubungannya dengan motivasi belajar siswa, karena semakin tinggi motivasi belajar siswa maka prestasi belajar siswa juga akan meningkat. Weigand dalam Sudjana (2000: 70) mengemukakan, ada tiga faktor di luar kemampuan siswa yang mempengaruhi prestasi belajar, yakni (a) kondisi yang diperlukan untuk belajar, (b) kemampuan tenaga pengajar, dan (c) interaksi personal antara tenaga pengajar-guru dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan mengajar guru mempunyai pengaruh terhadap motivasi belajar siswa baik yang sifatnya positif maupun negatif (Surya, 1996: 65). Jika kemampuan mengajar yang ditampilkan guru dalam Proses Belajar Mengajar sesuai dengan harapan siswa, maka siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik.
Fenomena yang terjadi di SMP Negeri 2 Bau-Bau menunjukkan bahwa masih dijumpai siswa yang berperilaku sebagai berikut: (1) Tidak masuk sekolah tanpa alasan, membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan PR, dan tidak teratur dalam belajar; (2) menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti menentang; (3) lambat dalam melaksanakan tugas-tugas belajar; dan (4) menunjukkan gejala emosional, seperti pemurung, pemarah, dan mudah tersinggung (wawancara dengan Kepala Sekolah dan Guru). Menurut Natawidjaja (1982: 22) keempat gejala yang ditunjukkan tersebut mengisyaratkan adanya kesulitan belajar pada diri siswa. Kesulitan belajar tersebut berkaitan erat dengan motivasi belajar yang dimiliki siswa. Berdasarkan data yang diperoleh tentang nilai prestasi belajar Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Bau-Bau menunjukkan nilai rata-rata siswa berada 6,88 (data dari Sekolah). Rata-rata nilai yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar yang diperoleh siswa masih rendah karena nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai standar yang ditargetkan oleh sekolah yaitu 7,5. Hal ini mengindikasikan rendahnya prestasi belajar yang disebabkan kurangnya motivasi belajar siswa. Kurangnya motivasi belajar siswa kemungkinan ada hubungannya dengan kemampuan mengajar guru.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kemampuan Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 2 Bau-Bau”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : Apakah Terdapat Hubungan antara Kemampuan Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 2 Bau-Bau?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara Kemampuan Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 2 Bau-Bau.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi sekolah bahwa kemampuan mengajar guru merupakan faktor penting dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.
b. Sebagai bahan masukan bagi guru-guru di SMP Negeri 2 Bau-Bau tentang adanya hubungan antara Kemampuan Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar siswa.
c. Sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sifatnya pengkajian ulang maupun penelitian pada tahap berikutnya.
d. Sebagai pengetahuan bagi peneliti bahwa kemampuan mengajar guru merupakan faktor penting dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.
2. Manfaat Teoritis adalah bahwa penelitian ini diharapkan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan, karena penelitian ini diperoleh melalui penelitian ilmiah yang didukung oleh teori dan fakta empiris.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Kemampuan Mengajar Guru
Kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai kondisi yang diharapkan. Perilaku yang rasional merupakan wujud dari kemampuan seseorang. Berarti orang yang memiliki suatu kemampuan adalah benar-benar orang yang mempunyai keahlian dibidangnya atau dikenal dengan istilah “profesional” (Sutikno, 2007: 125).
Menurut Kunandar (2007: 53) mengatakan bahwa kemampuan (skill) yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan juga dapat diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan dan bertindak.
Selanjutnya menurut McAshan dalam Sutikno, (2007: 125) menyatakan bahwa kemampuan adalah pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Jadi kemampuan adalah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Kata teach atau mengajar berasal dari bahasa inggris kuno, yaitu taecan, yang berarti memperlihatkan. Istilah mengajar sudah dikenal sejak lama, bahkan sejak disadari pentingnya pendidikan dan persekolahan. Mengajar adalah suatu kegiatan dimana pengajar menyampaikan pengetahuan, pengalaman yang dimiliki kepada peserta didik dengan tujuan agar pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik (Surya, 1996: 6). Selanjutnya Sanjaya, (2006: 94) mengatakan bahwa mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa.
Mengajar adalah proses mengatur, mengorganisasikan lingkungan yang ada disekitar anak didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik dalam proses belajar. Sejalan dengan itu Hamalik (1991: 8) mengatakan bahwa mengajar adalah usaha guru untuk mengorganisasikan langkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada dikelas maupun yang ada di luar kelas yang menunjang kegiatan belajar mengajar.
Nasution dalam Sutikno, (2007: 51) mengartikan mengajar adalah usaha guru untuk menciptakan kondisi-kondisiatau mengatur lingkungan sedemikian rupa sehingga terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungannya, termaksud guru dan alat pelajaran yang disebut proses belajar, tujuan pelajaran yang telah ditentukan tercapai. Selanjutnya Davies dalam Sutikno, (2007: 51) dalam pengertian yang lain, juga dijelaskan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan menyangkut pengambilan keputusan.
Hamalik, (2002: 58) mengajar adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efektif. Lebih lanjut Sutikno (2007: 52) mengatakan bahwa mengajar adalah penciptaan system lingkungan yang memungkinkan terjadi proses belajar.
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas atau proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa.
Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkannya. Dengan kata lain guru harus mampu menciptakan suatu situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya. Usman, (2000: 8) guru merupakan profesi, jabatan, dan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus.
Guru bertugas sebagai tenaga profesional maka guru harus ikut dalam menentukan kebijakan pendidikan di dalam kelas atau sekolah melalui kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya, sesuai dengan pandangan tentang administrasi kelas atau sekolah yang harus dikelola melalui usaha kerja bersama (Syaodih, 2007: 252). Sedangkan Grams dan Mc Clare (1980: 141) teacher are those persons who consciously direct the experiences and behavior of an individual so that education takes places (guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan.
Menurut Hazkew dan Mc Lendon (1984: 10) teacher is professional person who conducts classes (guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menatadan mengelola kelas).
Berdasarkan uraian di atas bahwa guru merupakan profesi atau pekerjaan yang tugasnya tidak semata-mata menyampaikan dan mentransfer pengetahuan tetapi juga sebagai pendidikyang menyampaikan nilai-nilai dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar.
Guru sebagai salah satu komponen dalam system pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Menurut Sutikno, (2007: 125-126) seorang guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran, antara lain : (1) kemampuan menguasai bahan ajar, (2) kemampuan dalam mengelola kelas, (3) kemampuan dalam menggunakan metode, media, dan sumber belajar, dan (4) kemampuan untuk melakukan penilaian.
Imron (1995: 174) beberapa indikator interaksi belajar mengajar antara lain : (1) kemampuan menggunakan metode, media dan bahan latihan sesuai dengan tujuan pengajaran, (2) kemampuan berkomunikasi dengan siswa, (3) kemampuan mendemonstrasikan khasanah metode mengajar, (4) kemampuan mendorong dan menggalakkan keterlibatan siswa dalam mengajar, (5) kemampuan mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan relevansinya, (6) kemampuan mengorganisasi waktu, ruang dan bahan perlengkapan pengajaran, (7) kemampuan melaksanakan evaluasi siswa dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan kemampuan guru menurut Depdiknas dalam Hamzah, (2007: 20) adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan kepribadian, (2) menguasai landasan kependidikan, (3) menguasai bahan pelajaran, (4) menyusun program pengajaran, (5) melaksanakan program pengajaran, (6) menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan, (7) menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran, (8) menyelenggarakan program bimbingan, (9) berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat, dan (10) menyelenggarakan administrasi sekolah.
Menurut Sukadi, (2007: 19) Guru dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih siswa, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya, dan mampu mentrasfer atau menerangkan kembali kepada siswa; (2) mempunyai sikap dan tingkah laku yang patut diteladani; dan (3) memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya.
Hamzah (2007: 18) Kemampuan profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, terdiri dari tiga, yaitu (1) kemampuan pribadi, (2) kemampuan sosial, dan (3) kemampuan profesional.
Sementara itu Usman (2000: 17) memberikan rincian kemampuan profesional guru, yakni sebagai berikut : (1) Menguasai landasan kependidikan, yaitu : (a) mengenal tujuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, (b) mengenal fungsi sekolah dalam masyarakat, (c) Mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar; (2) menguasai bahan pengajaran; (3) menyusun program pengajaran; (4) Melaksanakan program pengajaran, yakni (a) menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, (b) mengatur ruangan belajar, (c) mengelola interaksi belajar mengajar, dan (d) menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Nasution, (1982: 21-22) mengemukakan berbagai kriteria untuk menilai kemampuan guru, yaitu (1) apakah guru menggunakan alat peraga untuk menjelaskan bahan/materi yang akan diajarkan? (2) apakah guru hanya menggunakan satu atau beberapa metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan? (3) Apakah guru cukup mengajukan pertanyaan? (4) Apakah guru menguasai materi yang akan diajarkan? (5) Apakah guru hanya memegang teguh buku pelajaran ataukah memberi pengetahuan yang luas pada anak-anak dengan sumber lain? (6) Apakah guru mampu berinteraksi secara aktif terhadap masing-masing siswa?
Syaodih, (2007: 256) Untuk dapat menyajikan dan menyampaikan materi pengetahuan dengan tepat, guru dituntut menguasai strategi atau metode mengajar dengan baik. Guru diharapkan dapat mempersiapkan pengajaran, melaksanakan dan menilai hasil belajar, serta menggunakan model-model interaksi belajar mengajar yang tepat, mengelola kelas, dan membimbing perkembangan siswa dengan tepat pula.
Hamalik, (2002: 39) menyatakan kecakapan pribadi guru yang disenangi oleh siswa dalam proses belajar mengajar adalah guru-guru yang (1) demokratis, (2) suka bekerja sama (kooperatif), (3) baik hati, (4) sabar, (5) adil, (6) konsisten, (7) bersifat terbuka, (8) suka menolong, (9) ramah tamah, (10) suka humor, (11) memiliki bermacam ragam minat, (12) menguasai bahan pelajaran, (13) fleksibel, (14) menaruh minat yang baik kepada siswa.
Cooper dalam Sudjana (1989: 18) mengemukakan empat kemampuan guru yakni : (1) menguasai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, (4) mempunyai keterampilan teknik mengajar.
Selanjutnya Sudjana (1989: 18) membagi kemampuan guru dalam tiga bagian, yaitu (1) kemampuan bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan tentang belajar dann tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan, serta pengetahuan umum lainnya,; (2) kemampuan bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya, sikap menghargai pekerjaannya, sikap ramah kepada siswa, disiplin dalam menjalankan tugas, memiliki rasa humoris dalam pembelajaran, jujur dan bertanggung jawab, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.; (3) kemampuan prilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu, berkomunikasi dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa dan keterampilan lainnya.
Menurut Soedijarto, (1993: 60-61) menyatakan bahwa guru yang memiliki kemampuan professional perlu menguasai antara lain: (a) disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan pelajaran, (b) bahan ajar yang diajarkan, (c) pengetahuan tentang karakteristik siswa, (d) pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, (e) pengetahuan serta penguasaan metode dan model mengajar, (f) penguasaan terhadap prinsip-prinsip teknoligi pembelajaran, (g) pengetahuan terhadap penilaian, dan mampu merencanakan, memimpin, guna kelancaran proses pendidikan.
Glasser dalam Sudjana (2000:69) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni (a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b) menguasai bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan mengajar.
Crow, (1980: 58) mengemukakan bahwa kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran meliputi: (a) penguasaan subjectmatter yang akan diajarkan, (b) keadaan fisik dan kesehatannya, (c) sifat-sifat pribadi, (d) memahami sifat-hakikat dan perkembangan manusia, (e) pengetahuan dan kemampuannya untuk menerapkan prinsip-prinsip belajar, (f) kepekaan dan apirasinya terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan, agama, dan etnis, (g) minatnya terhadap perbaikan profesional dan pengayaan cultural yang terus menerus dilakukan.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengajar guru dalam Proses Belajar Mengajar yang meliputi: (1) kemampuan pengetahuan terhadap siswa, pengetahuan terhadap materi, dan pengetahuan terhadap metode mengajar; (2) kemampuan keterampilan dalam mengelola kelas, keterampilan dalam penilaian, dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan siswa; dan (3) kemampuan pribadi terhadap siswa, yakni sabar, disiplin, jujur, humoris, dan adil.
B. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi berpangkal dari kata motif, yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan (Fathurrohman dan Sutikno, 2007: 19). Motivasi diistilahkan sebagai ungkapan tingkah laku yang giat dan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Usman dalam Sukadi, (2007: 37) mengungkapkan bahwa motivasi adalah keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
Sutikno (2007: 137) mengemukakan motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk bergerak, baik disadari maupun tidak disadari. Lebih lanjut Sutikno (2007: 138) menyatakan bahwa ada tiga komponen utama dalam motivasi, yaitu (1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan.
Usman (2000: 28) motivasi adalah proses untuk menggaitkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
McDonald dalam Hamalik, (2002: 173) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Motivasi terdiri dari dua macam, yaitu motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu, sedangkan motivasi eksternal adalah motivasi yang timbul akibat adanya dorongan dari luar individu. (Sukadi, 2007: 37).
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan atau kekuatan dari dalam diri individu untuk melakukan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Djamarah (2002: 114) bahwa dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu yang akan dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya.
Roestiyah (1989: 79) motivasi dibagi dalam dua bagian yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang menjadi aktif akan berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik cenderung akan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Gemar belajar adalah aktivitas yang tidak pernah sepi dari kegiatan siswa yang memiliki motivasi intrinsik. Dorongan untuk belajar bersumber pada kebutuhan, yang berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan.
Jadi motivasi Intrinsik muncul berdasarkan kesadaran dengan tujuan esensial, bukan sekedar atribut dan seremonial. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik, yakni motivasi yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila siswa menempatkan tujuan belajarnya di luar faktor-faktor situasi belajar.
Menurut Sofyan (1985: 70) bahwa motivasi ekstrinsik diperlukan agar siswa mau belajar. Berbagai macam cara bisa dilakukan agar siswa bermotivasi untuk belajar. Guru yang berhasil mengajar adalah guru yang pandai membangkitkan minat siswa dalam belajar, dengan memanfaatkan motivasi ekstrinsik dalam berbagai bentuk. Baik motivasi ekstrinsik yang positif maupun motivasi ekstrinsik yang negatif, sama-sama mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Diketahui bahwa angka, ijazah, pujian, hadiah dan sebagainya berpengaruh positif dengan merangsang siswa untuk giat belajar. Sedangkan ejekan, celaan, hukuman yang menghina, sindiran besar, dan sebagainya berpengaruh negatif dengan renggangnya hubungan guru dengan siswa.
Sardiman (1988: 75) mengemukakan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Selanjutnya Winkel (1983: 73) mengatakan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa untuk menimbulkan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga apa yang dikehendakinya dapat tercapai.
Prayitno (1989: 8) menyatakan bahwa motivasi belajar tidak saja merupakan suatu energi yang menggerakkan siswa untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu yang mengarahkan aktivitas siswa kepada tujuan belajar.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah dorongan dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan, perbuatan, tingkah laku, dan arah belajar untuk mencapai tujuan yang dikehendaki siswa.
2. Fungsi Motivasi
Motivasi mempunyai fungsi yang penting dalam belajar, karena motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan siswa. Hawley dalam Yusuf, (1993: 14) menyatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan para siswa yang memiliki motivasi rendah. Hal ini dapat dipahami, karena siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan tekun dalam belajar dan terus belajar secara kontinyu tanpa mengenal putus asa serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan belajar yang dilakukannya.
Nasution (1995: 76) membagi tiga jenis fungsi motivasi, yaitu: (1) pendorong manusia untuk berbuat, fungsi ini menunjukkan motivasi sebagai penggerak yang melepaskan energi, (2) Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai, dan (3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu, dengan menyampingkan perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan itu.
Sardiman dalam Fathurrohman dan Sutikno, (2007: 20) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi motivasi: (1) mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepas energi. Motivasi dalam hal ini merupakan langkah penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan; (2) Menentukan arah perbuatan yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya; (3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Hamalik (2000: 175) menyatakan fungsi motivasi adalah: (1) mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul perbuatan seperti belajar; (2) sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian tujuan yang diinginkan; (3) sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Kuat lemahnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Syaodih dalam Kurniasih, (1997: 32) menyatakan fungsi dari motivasi adalah: (1) mendorong anak melaksanakan sesuatu aktivitas dan tindakan; (2) dapat menentukan arah perbuatan seseorang; dan (3) memotivasi berfungsi dalam dalam menyeleksi jenis-jenis perbuatan dan aktivitas seseorang. Selanjutnya Wirasaputra dan Rosita (1996: 112) fungsi lain dari motivasi adalah (1) mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, seperti timbulnya dorongan untuk belajar, (2) sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepencapaian tujuan yang diinginkan, dan (3) sebagai penggerak, artinya besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu perbuatan.
Pemahaman ini akan memberikan makna akan pentingnya fungsi motivasi dalam belajar. Belajar tidak akan terjadi kalau tidak ada dorongan yang kuat dari dalam diri maupun luar diri siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar. Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa dalam kegiatan-kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atau perbuatan yang dilakukannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka harus dilakukan suatu upaya agar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi sehingga siswa yang bersangkutan dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
3. Upaya meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Dalam rangka mengupayakan agar motivasi belajar siswa tinggi, seorang guru menurut Mudjiono dan Dimyati (1994: 95) hendaknya selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) seorang guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan penerapan prinsip belajar. Guru pada prinsipnya harus memandang bahwa dengan kehadiran siswa di kelas merupakan suatu motivasi belajar yang datang dari siswa. Sehingga dengan adanya prinsip seperti itu, ia akan menganggap siswa sebagai seorang yang harus dihormati dan dihargai. Dengan perlakuan semacam itu, siswa tentunya akan mampu memberi makna terhadap pelajaran yang dihadapinya; (2) guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan unsure-unsur dinamis dalam pembelajaran. Dalam proses belajar, seorang siswa terkadang dapat terhambat oleh adanya berbagai permasalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh kelelahan jasmani ataupun mental siswa. Untuk itu upaya yang dapat dilakukan seorang guru adalah dengan cara: (a) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang dialaminya, (b) meminta kesempatan kepada orang tua siswa agar memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar, (c) memanfatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar, (d) menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada prilaku belajar. Pada tingkat ini guru memperlakukan upaya belajar merupakan aktualisasi diri siswa, (e) merangsang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil; (3) guru mengoptimalisasikan pemanfatan pengalaman dan kemampuan siswa. Perilaku belajar yang ditujukan siswa merupakan suatu rangkaian perilaku yang ditujukan pada kesehariannya. Untuk itu, pengalaman yang diberikan oleh guru terhadap siswa dalam meningkatkan motivasi belajar adalah dengan cara: (a) siswa ditugasi membaca bahan belajarsebelumnya, tiap membaca hal-hal terpenting dari bahan tersebut dicatat, (b) guru memecahkan hal yang sukar bagi siswa dengan cara memecahkannya, (c) guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidik keberanian siswa dalam mengatasi kesukaran, (d) guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran, (e) guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mampu memecahkan masalah dan mungkin akan membantu rekannya yang mengalami kesulitan, (f) guru memberi penguatan pada siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri, (g) guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.
Fathurrohman dan Sutikno (2007: 20) mengatakan bahwa ada beberapa strategi untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, yakni: (1) menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik, (2) hadiah, (3) saingan/kompetisi, (4) pujian, (5) hukuman, (6) membangkitkan dorongan kepada peserta didik untuk belajar, (7) membentuk kebiasaan belajar yang baik, (8) membantu kesulitan belajar peserta didik, baik secara individual maupun kelompok, (9) menggunakan metode yang bervariasi, (10) menggunakan media yang baik serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Yusuf (1993: 25) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan motivasi siswa, guru mempunyai peranan sebagai berikut: (1) menciptakan lingkungan belajar yang merangsang anak untuk belajar; (2) memberi reinforcement (peneguhan) bagi tingkah laku yang menunjukkan motif; (3) menciptakan lingkungan kelas yang dapat mengembangkan curiosity dan kegemaran siswa belajar.
Dengan adanya perlakuan seperti pernyataan di atas dari guru, diharapkan siswa mampu membangkitkan motivasi belajarnya dan yang paling utama adalah siswa mendapatkan hasil belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya. Untuk mencapai prestasi belajar tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh guru dalam memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar dapat meningkatkan motivasi belajarnya.
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi belajar adalah ketekunan dalam belajar, ulet dalam menghadapi kesulitan belajar, minat dan perhatian dalam belajar, berprestasi dalam belajar, dan mandiri dalam belajar.
C. Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini seperti yang dilaporkan oleh:
- Fitriani (2001) dalam kesimpulannya mengatakan bahwa kemampuan mengajar guru berhubungan positif dan signifikan terhadap hasil belajar akuntansi siswa.
D. Kerangka Berpikir
Guru akan mempunyai pengaruh terhadap siswa. Pengaruh tersebut ada yang terjadi melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan dengan sengaja dan adapula yang terjadi dengan tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru, yaitu melalui sikap, gaya, dan kemampuan mengajar guru itu sendiri. Kemampuan mengajar guru berpengaruh secara langsung terhadap perilaku siswa. Perilaku yang terpengaruh itu antara lain: kebiasaan belajar, minat, disiplin, dan motivasi belajar siswa.
Kegiatan belajar siswa merupakan hasil perpaduan dari unsur tujuan, bahan pelajaran, kurikulum, perilaku siswa, dan kemampuan mengajar guru. Keberhasilan belajar siswa tidak akan optimal apabila salah satu dari unsur di atas tidak mendukung keadaannya. Motivasi merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap hasil belajar. Siswa yang motivasi belajarnya tinggi akan memperoleh hasil belajar yang baik. Pandangan ini sesuai dengan pendapat Hawley dalam Prayitno, (1989: 3) yaitu siswa yang termotivasi dengan baik dalam belajar melakukan kegiatan lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam belajar. Prestasi yang diraih akan lebih baik apabila mempunyai motivasi yang tinggi.
Ada keterkaitan antara motivasi belajar siswa dengan kemampuan mengajar yang ditampilkan guru dalam proses belajar mengajar. Sebab puas atau tidaknya siswa terhadap kemampuan mengajar guru akan menjadi penggerak (drive) bagi siswa, sehingga siswa akan termotivasi atau tidak oleh kemampuan mengajar guru tersebut. Jadi, jika kemampuan mengajar yang ditampilkan guru dalam Proses Belajar Mengajar sesuai dengan harapan siswa, maka siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Dengan demikian diduga ada hubungan yang positif antara kemampuan mengajar guru dengan motivasi belajar siswa.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, kajian teori, dan kerangka berpikir maka hipotesis penelitian ini adalah: ada hubungan positif antara kemampuan mengajar guru dengan motivasi belajar siswa di SMP Negeri 2 Bau-Bau.



Baca Selengkapnya......

Penerapan Pembelajaran Quantum (Quantum Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional telah menghembuskan angin segar bagi peningkatan mutu pendidikan. Di mana dengan lahirnya Undang-Undang ini diharapkan akan tercapainya tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencerdasarkan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Di mana hal ini dapat terwujudkan dengan meningkatkan sistem pembelajaran yang diterapkan pada semua lembaga-lembaga pendidikan formal ataupun informal yang ada di negara kita.
Hingga saat ini sistem pembelajaran yang ada umumnya kurang mendukung peningkatan mutu tamatan pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Indikator atau tolak ukur keberhasilan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran hanya didasarkan pada kompotensi kognitif (pengetahuan) anak didik dalam menjawab pertanyaan yang terdapat pada materi ulangan atau evaluasi harian, evaluasi bulanan atau pada evaluasi belajar tahap akhir sebagai salah satu ketercapaian tujuan pendidikan. Indikator lain seperti, keterampilan, keimanan, tanggung jawab, kepribadian, dan budi pekerti kurang mendapat perhatian dan penilaian yang seimbang dan proposional.
Sehubungan dengan hal di atas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Esensi dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah bagaimana mengajar dan mendidik siswa dari individu yang belum memiliki kerangka pikir (kognitif) yang berkualitas, sikap mental (afektif) yang berkualitas, dan keterampilan (psikomotorik) yang berkualitas menjadi individu yang memiliki kerangka berpikir (kognitif), sikap mental (afektif) dan keterampilan (psikomotor) yang berkualitas dan seimbang, berujung pada dihasilkannya tamatan yang memiliki kecakapan hidup (life skill) (Achjar, 2006 : 1).
Telah menjadi isu nasional bahwa penguasaan siswa terhadap materi fisika sangat rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah proaktif dari seluruh elemen pendidikan terutama guru yang mengajarkan materi fisika di sekolah-sekolah yang ada.
Hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap salah satu guru fisika kelas X SMA Negeri 1 Tirawauta pada tanggal 3 Maret 2007, dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil ulangan harian pada pokok bahasan kinematika gerak lurus sebesar 5,21. Nilai ini belum memenuhi standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) dari sekolah yaitu 6,0. Nilai ini tentunya perlu perhatian dari berbagai pihak khususnya guru mata pelajaran fisika untuk melakukan alternatif baru dalam rangka perbaikan proses belajar mengajar untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta. Sehingga diharapkan dalam pembelajaran fisika tersebut dapat dilahirkan siswa-siswa dengan kerangka pikir, sikap mental dan keterampilan yang berkualitas dan seimbang, yang memiliki kecakapan hidup (life skill) dalam bidang fisika. Dilihat dari hasil rata-rata belajar siswa tiap tahun, pokok bahasan kinematika gerak lurus merupakan salah satu pokok bahasan yang dikategorikan masih rendah. Hal ini disebabkan masih kurangnya media pembelajaran yang dapat membangun motivasi siswa dalam proses belajar mengajar.
Banyak strategi dan pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk menyajikan materi pembelajaran fisika. Salah satu strategi yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran fisika adalah pembelajaran kuantum yang dikenal dengan istilah Quantum Learning. Pembelajaran quantum (Quantum learning) memfokuskan pembelajaran pada prinsip dasar, bahwa dalam diri anak ada potensi yang perlu dikenali, dan dimotivasi untuk dikembangkan secara ekseleratif. Untuk mempercepat penguasaan dalam interaksi belajar mengajar, maka perlu didukung oleh partisipasi aktif, fasilitas, dan konteks yang kondusif (Djarudju Rompas, 2006 : 89).
Selanjutnya Rompas (2006: 89–90) menjelaskan pula bahwa arah dan hasil yang diharapkan dalam metode ini adalah bagaimana siswa atau peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilannya melalui suatu proses belajar di antara mereka yang difasilitasi oleh guru secara luwes dan interaksi yang dinamis dengan titik perhatian pada kebutuhan siswa. Untuk mencapai harapan ini, maka perlakuan kepada siswa sebaiknya dinilai secara sama dan sederajat. Hal-hal yang belum terpahami (termasuk oleh guru) boleh jadi justru diperoleh dari siswa (Djarudju Rompas, 2006 : 89 - 90).
Dalam proses interaksi komunikasi, peran guru sangat penting terutama dalam hubungan dengan proses belajar. Berdasarkan kompetensi dasar yang diharapkan dikuasai siswa dalam pembelajaran fisika, maka seorang guru perlu melakukan langkah-langkah operasional yang didukung dengan kemampuan menerapkan strategi dan pendekatan pembelajaran secara tepat.
Pembelajaran quantum memiliki kerangka pembelajaran yang dikenal dengan TANDUR (Tumbuhkan, alami, namai, demonstrasi, ulangi, rayakan) yang mana jika kerangka pembelajaran ini diterapkan dalam suatu proses belajar mengajar akan menciptakan situasi belajar yang kondusif dan terarah yang pada akhirnya akan dihasilkan peserta didik dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berkualitas. Pembelajaran quantum juga dapat diterapkan pada semua jenis materi, salah satu materi fisika yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah yaitu pokok bahasan Kinematika Gerak Lurus.
Sehubungan dengan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang selengkapnya terangkum dalam judul : “Penerapan Pembelajaran Quantum (Quantum Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta.



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta yang diajarkan dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning)?
2. Bagaimana hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta yang diajarkan dengan pembelajaran biasa (konvensional)?
3. Apakah hasil belajar fisika siswa yang diajar dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning) lebih baik daripada yang diajar secara konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta?
4. Apakah ada perbedaan rata-rata gain (selisih post-test dengan pre-test) kelas yang diajar dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning) dengan kelas yang diajar secara konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta yang diajarkan dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning).
2. Untuk mendeskripsikan hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta yang diajarkan dengan pembelajaran biasa (konvensional).
3. Untuk mengetahui apakah hasil belajar fisika siswa yang diajar dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning) lebih baik daripada yang diajar secara konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta.
4. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata gain (selisih post-test dengan pre-test) kelas yang diajar dengan pembelajaran quantum (Quantum Learning) dengan kelas yang diajar secara konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Tirawuta.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Bahan masukan khususnya bagi guru-guru mata pelajaran fisika dan para guru secara umum mengenai inovasi baru dalam pembelajaran guna meningkatkan keaktivan dan prestasi belajar siswa.
2. Bahan masukan bagi kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang dituntut dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di mana salah satu metode dan pendekatan belajar yang dapat digunakan adalah pembelajaran quantum (Quantum Learning).
3. Diharapkan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa semoga penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber yang berguna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Belajar dan Mengajar
Pada dasarnya proses belajar mengajar fisika sama seperti proses belajar mengajar pada umumnya. Untuk lebih jelasnya tentang proses belajar dan mengajar ini, berikut akan diuraikan secara terperinci mengenai konsep belajar dan mengajar itu sendiri.
a. Belajar
Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga lingkungan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, siang hari, atau pagi hari.
Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
James O. Whitataker, merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Selanjutnya. Cronbach berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh James O. Whitataker dan Cronbach, Howard L. Kingskey, mengatakan bahwa belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Djamarah, 2002 : 12 - 13).
Selanjutnya Slameto (2003 : 2) mengemukakan bahwa secara psikologi, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sementara itu, Sardiman (2006 : 50 - 51) mengemukakan bahwa belajar secara esensial meruapakan proses bermakna, bukan sesuatu yang berlangsung secara mekanis belaka, tidak sekedar rutinisme. Menurut penelitian psikologis, mengungkapkan adanya sejumlah aspek yang khas sifatnya dari yang dikatakan belajar penuh makna. Belajar yang penuh makna itu adalah sebagai berikut :
1) Belajar menurut esensinya memiliki tujuan.
2) Belajar memiliki makna yang penuh,dalam arti siswa/subyek belajar memperhatikan makna tersebut.
3) Dasar proses belajar adalah sesuatu yang bersifat eksplorasi serta menemukan dan bukan merupakan pengulangan rutin.
4) Hasil belajar yang dicapai itu selalu memunculkan pemahaman atau pangertian atau menimbulkan reaksi atau jawaban yang dapat dipahami dan diterima oleh akal.
b. Mengajar
Purwanto (2004 : 149) mengemukakan bahwa pada hakikatnya, antara mengajar dan mendidik itu tidak ada perbedaan yang tegas . keduanya tak dapat dipisah-pisahkan. Siapa yang mengajar, ia juga mendidik, dan siapa yang bisa mendidik, harus juga mengajar.
Masalah mengajar telah menjadi persaoalan para ahli pendidikan sejak dahulu hingga sekarang. Pengertian mengajar mengalami perkembangan, bahkan hingga dewasa ini belum ada definisi yang tepat bagi semua pihak mengenai mengajar itu. Pendapat yang dilontarkan oleh para pendidik ialah untuk mendapatkan jawaban mengenai apakah mengajar itu? Untuk mencari jawaban pertanyaan tersebut, perlu dikemukakan beberapa teori tentang mengajar. Adapun beberapa teori tentang mengajar yang dikemukakan yaitu sebagai berikut :
- Definisi yang lama : mengajar ialah penyerahan kebudayaan berupa pengalaman-pengalaman dan kecakapan kepada anak didik kita atau usaha mewariskan kebudayaan masyarakat pada generasi berikut sebagai generasi penerus.
- Definisi dari DeQueliy dan Gazali : mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada seseorang dengan cara paling singkat dan tepat.
- Definisi yang modern di negara-negara yang sudah maju : mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Definisi ini menunjukkan bahwa yang aktif adalah siswa, yang mengalami proses belajar. Sedangkan guru hanya membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhatikan kepribadian siswa.
Kilpatrik menunjukkan definisi mengajar yang tegas, dengan dasar pemikiran pada gambaran perjuangan hidup umat manusia. Definisi Kipatrik tersebut ialah dengan menggunakan metode “problem solving” anak, siswa dapat mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam hidupnya.
Definisi dari Alvin W. Howard : mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mendapatkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge.”
Definisi dari A. Morisson D.Mc. Intyre : mengajar adalah aktivitas personal yang unik.
Definisi dari John R. Pancella : mengajar dapat dilukiskan sebagai membuat keputusan (decision making) dalam interaksi, dan hasil dari keputusan guru adalah jawaban siswa atau sekelompok siswa, kepada siapa guru berinteraksi.
Definisi dari bagi Mursell : mengajar digambarkan sebagai “mengorganisasikan belajar”, sehingga dengan mengorganisasikan itu, balajar menjadi berarti atau bermakna bagi siswa.
Definisi dari Waini Rasyidin : mengajar yang dipentingkan ialah adanya partisipasi guru dan siswa satu sama lain.
Itulah teori-teori mengajar yang dikaitkan dengan pengertian mengajar yang dapat dikemukakan, sehingga para calon guru atau pembimbing dapat membanding-bandingkan di antara teori itu, kemudian dapat mengambil kesimpulan teori mana yang dapat diambil, dan diterapkan di dalam tugas mengajar atau memberi layanan kepada siswa (Slameto, 2003 : 29 - 35).
B. Pembelajaran Sains (Ilmu Pengetahuan Alam)
Kebudayaan dalam era globalisasi ini harus didukung oleh sistem pendidikan yang menekankan sains dan matematika. Kebudayaan siswa berbakat menyukai sains (IPA), karena merupakan tantangan untuk kemelitan mereka. Siswa berbakat biasanya tertarik terhadap peralatan laboratorium dan pembelajaran sains, senang terlibat dalam diskusi tentang kapal terbang supersonic, energi nuklir, rekayasa biogenetik, penggunaan jantung buatan, dan inplantasi organ hewan dalam tubuh manusia. Melalui diskusi siswa berbakat memahami dan menghargai bagaimana kebijaksanaan nasional dan kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh perkembangan dan penemuan ilmiah (Sisk dalam Munandar, 1987).
a. Karakteristik Siswa Berbakat Sains
Bagaimana kita dapat menemukenali siswa berbakat sains? Beberapa peneliti berpendapat bahwa bakat sains tidak merupakan trait tersendiri tetapi merupakan aspek dari intelegensi yang tinggi yang muncul karena perangsangan dari lingkungan dan kesempatan yang tersedia untuk berkembang. Peneliti lain percaya bahwa bakat sains ada, tetapi mereka menekankan komponen-komponen yang berbeda. Komponen itu meliputi kepekaan terhadap masalah kemampuan untuk mengembangkan gagasan baru, dan kemampuan untuk menilai (Guilfod dalam Munandar, 1981).
b. Guru sebagai Fasilitator
Selkin dan Birch (1980) mengemukakan empat peran khusus dari guru yang mengajar sains kepada siswa berbakat; sebagai modal, pendidik nilai, pembangkit minat, dan sebagai penilai fungsional. Sebagai metode sains, guru menunjukkan kemelitan dan keterampilannya. Sebagai pendidik nilai, guru mendorong siswa berbakat untuk menjajaki isu-isu yang penting dalam sains, dalam upaya mencari kebenaran. Sebagai pendorong minat, guru merangsang minat awal dan meluaskannya. Dalam peranannya sebagai penilai fungsional, guru mencatat kecepatan dan kesempurnaan dari pemahaman siswa, gaya belajar mereka dan cara mengajar yang disukai (ceramah, diskusi, atau pusat belajar). Penting pula bagi guru memberi umpan balik kepada siswa berbakat mengenai tingkat kinerja mereka untuk menumbuhkan pertumbuhan mereka sebagai ilmuwan potensial.
Munandar (2004 : 148-149) menemukakan bahwa salah satu peran esensial dari guru sebagai fasilitator dalam sains adalah membina belajar mandiri (independent study). Langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1) Mengakses minat siswa.
2) Memperkenalkan kepada siswa berbagai bidang minat.
3) Melakukan wawancara pribadi terhadap siswa.
4) Mengembangkan rencana tertulis.
5) Menentukan arah dan waktu dengan siswa berbakat.
6) Membantu siswa dalam mencari macam-macam sumber.
7) Melakukan sumbang saran terhadap produk akhir.
8) Memberi bantuan dalam metodologi yang perlu.
9) Membantu siswa berbakat dalam menemukan pendengar untuk presentasi siswa.
10) Menilai hasil studi bersama siswa berbakat dan pertimbangan bidang baru untuk diteliti.
C. Pembelajaran Quantum Learning
a. Asas Utama Quantum Learning
Quantum Learning mengacu konsep yaitu : “Bawalah Dunia Mereka ke dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Inilah asas utama yang menjadi alasan dasar di balik segala strategi, model, dan keyakinan Quantum Learning. Segala hal yang dilakukan dalam Quantum Learning berorieontasi pada setiap interaksi dengan siswa, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode instruksional yang dibangun di atas prinsip, Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka.
b. Prinsip-prinsip Quantum Learning
Quantum Learning juga memiliki lima prinsip, atau kebenaran tetap. Serupa dengan Asas Utama, Bawalah Dunia Mereka ke dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka, prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh aspek Quantum Learning. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Segalanya Berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh Anda, dari kertas yang Anda bagikan hingga rancangan pelajaran Anda; semuanya mengirimkan pesan tentang belajar.
2) Segalanya Bertujuan
Semua yang terjadi dalam penggubahan anda mempunyai tujuan semuanya.
3) Pengalaman Sebelum Pemberian Nama
Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggeraKkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari.

4) Akui Setiap Usaha
Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
5) Jika Layak Dipelajari, Maka Layak Pula Dirayakan
Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.

c. Quantum Learning
Quantum Learning hampir sama dengan sebuah simfoni. Jika anda menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman musik anda. Kita dapat membagi unsur-unsur tersebut menjadi dua kategori : konteks dan isi (context and content).
Konteks adalah latar untuk pengalaman anda. Konteks merupakan keakraban ruang orkestra itu sendiri (lingkungan), semangat konduktor dan para pemain musik (suasana), keseimbangan instrumen dan musisi dalam bekerjasama (landasan), dan interprestasi sang maestro terhadap lembaran musik (rancangan). Unsur-unsur ini berpadu dan kemudian, menciptakan pengalaman bermusik yang menyeluruh.
Bagian lain, isi berbeda namun sama pentingnya dengan konteks. Anggaplah lembaran musik itu sendiri sebagai isi , not- not nyata pada sebuah halaman. Salah satu unsur isi adalah bagaimana tiap frase musik dimainkan (panyajian), isi juga meniliki fasilitasi ahli sang maestro terhadap orkestra, memanfaatkan bakat setiap pemain musik dan potensi setiap instrumen. Jadi pada bagian isi inianda akan menemukan keterampilan penyampaian untuk kurikulum apapun, di samping strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggungjawab atas apa yang mereka pelajari, meliputi :
- Penyajian yang prima.
- Fasilitas yang luwes.
- Keterampilan belajar untuk belajar.
- Keterampilan hidup.
Quantum Learning memodelkan filosofi pengajaran dan strateginya dengan “maestro pada margin, berdasarkan kerangka rancangan belajar Quantum learning yang dikenal sebagai tandur. Berikut ini tinjauan sekilas mengenai tandur dan maknanya.
1. Tumbuhkan
Tumbuhkan minat dengan memuaskan “apakah manfaatnya bagiku“, dan manfaatkan kehidupan pelajar.
2. Alami
Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.
3. Namai
Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi; sebuah “masukan”.
4. Demonstrasikan
Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk “menunjukkan bahwa mereka tahu“.
5. Ulangi
Tunjukkan pada pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan, “Aku tahu bahwa aku memang tahu ini”.
6. Rayakan
Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan memperoleh keterampilan dan ilmu pengetahuan.
(Deporter et. Al., 2005 : 6 - 10).
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgeria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology“ atau “suggestopedia“. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pelajaran sugestif.
Istilah yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah ”pemercepatan belajar“ (accelereted learning). Pemercepatan belajar didefinisikan sebagai “memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan“. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan : hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerjasama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Quantum Learning mencangkup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dari prilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif yang merupakan faktor penting untuk merupakan fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar yang terbaik dari setiap orang, dan menciptakan ”pegangan” dari saat-saat keberhasilan yang meyakinkan
d. Manfaat Quantum learning
Metode Quantum learning ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi guru dan pelajar, yang meliputi :
- Sikap positif.
- Motivasi.
- Keterampilan belajar seumur hidup.
- Kepercayaan diri.
- Sukses.
(DePorter & Harnecki, 2003 : 13 - 14).
D. Pembelajaran Aktif, Efektif, dan Menyenagkan
Dalam mengelola kelas, peran guru sangat penting. Oleh karena itulah hanya guru profesional sajalah yang dapat mengantar pembelajaran menjadi lebih menarik, dan menyenangkan.
Berbicara tentang pembelajaran, maka tidak akan lepas dengan pengalaman belajar apa yang mesti diberikan kepada peserta didik agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup maupun untuk meningkat kualitas dirinya sehingga mampu menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat (life long education). Dalam hal ini ada empat pilar pendidikan yang direncanakan UNESCO yaitu “learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together” merupaka hal yang harus menjiwai program-program belajar mengajar di sekolah.
Atas dasar prisip-prinsip tersebut, maka pembelajaran di sekolah hendaknya mengaktifkan peserta didik tidak hanya secara mental sehingga mampu menjadi warga negara kritis, kreatif, dan partisipasif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik sudah lama diperkenalkan di Indonesia, tetapi penyebarannya belum merata sehingga hal ini sering menimbulkan salah pengertian dan keliru dalam penerapannya.
Menurut Masdjudi dan S. Ballen, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran aktif, yaitu :
1. Mengerti tujuan dan fungsi belajar.
2. Mengenal anak sebagai individu.
3. Memanfaatkan organisasi kelas.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah.
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.
7. Menerima umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar.
8. Membedakan antara aktif dan mental. (Supriono, 2001 : 21).
Berpikir kritis merupakan sebuah pohon yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain (Johnson, 2006 : 183).
E. Teori Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pengajaran secara klasikal tanpa membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil di mana siswa belajar tanpa ada ketergantungan dalam tugas dan tujuan pembelajaran. Pembelajaran konvensional menuntut apa yang sudah menjadi kebiasaan. Pembelajaran secara konvensional diartikan melakukan tugas dengan mendasarkan tradisi atau apa yang telah dilaksanakan oleh para guru atau pendidikan dahulu tanpa ada usaha untuk memperbaiki dengan kreasi yang ada padanya (Baharuddin, 2005 : 7).
Adapun pelaksanaan metode konvensional didominasi oleh metode ceramah, yakni guru menjelaskan sementara siswa memperhatikan dan mencatat hal-hal yang dianggap penting. Setiap selesai satu unit pelajaran, siswa diberi tes formatif untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang telah diberikan secara keseluruhan kemudian langsung pindah ke materi selanjutnya tanpa ada kegiatan perbaikan bagi siswa yang memperoleh nilai rendah.
F. Definisi Operasional Variabel
Agar diperoleh pengertian yang jelas untuk setiap variabel yang akan diteliti, maka dikemukakan beberapa definisi operasional sebagai berikut :
a. Hasil belajar fisika siswa adalah skor yang diperoleh pada pokok bahasan “kinematika gerak lurus” yang diperoleh melalui tes tertulis yang dibuat oleh peneliti pada kelas yang bersangkutan.
b. Pembelajaran kuantum (Quantum Learning) didefinisikan juga sebagai upaya pemercepatan belajar yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan berdasarkan kerangka atau tandur Quantum Learning yang terdiri dari tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi dan rayakan.
c. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan kebiasaan di mana peran guru sangat dominan dalam proses belajar mengajar dan siswa lebih bersifat pasif, karena segala kegiatan pembelajaran berpusat pada guru yang memberikan pembelajaran pengetahuan deklaratif dan prosedural.

Baca Selengkapnya......