Jumat, 31 Juli 2009

Deskripsi kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam menyelesaikan Soal Matematika berbentuk Cerita

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan Matematika mendapat perhatian yang khusus, karena bidang ilmu ini mempunyai peranan yang sangat penting dan dipandang dapat memberikan kontribusi positif yang sangat besar alam memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, menyediakan berbagai kesempatan bagi siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar. Dengan berbagai kesempatan belajar tersebut pertumbuhan dan perkembangan siswa dapat diarahkan menjadi manusia-manusia yang berkualitas bagi pembangunan.
Dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan, maka Pendidikan Matematika sebagai salah satu pelajar pada setiap jenjang pendidikan persekolahan dipandang memegang peranan yang sangat penting bukan saja untuk dirinya sendiri, namun juga merupakan sarana berpikir untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hudoyo ( 1998 :74 ) bahwa aturan-aturan dalam science yang menjadi landasan teknologi, sejauh ini hanya diungkapkan dalam bahasa matematika.
Matematika sebagai salah satu bidang studi yang dirasakan sulit masih dalam pengajarannya. Salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan adalah membantu dan mengantisipasi kelemahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal Matematika yang berbentuk cerita. Pembelajaran Matematika yang berkualitas sangat diperlukan, karena disamping mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi, Matematika dapat melatih siswa berpikir secara logis, rasional, operasional dan terukur sesuai dengan karakteristik ilmu Matematika (Hudoyo dan Sutawidjaja :1997). Salah satu materi Matematika yang penting dipelajari siswa SD dan perlu ditingkatkan mutu pembelajarannya adalah materi yang disajikan dalam bentuk cerita (soal cerita).
Soal cerita biasanya merupakan soal terapan dari suatu pokok bahasan yang dihubungkan dengan masalah sehari-hari. Menurut Sutawidjaja (1992), soal cerita erat kaitannya dengan masalah kehidupan sehari-hari yang penting sekali diberikan dalam pembelajaran matematika SD. Karena pada umumnya soal cerita dapat digunakan (sebagai cikal bakal) untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah.
Bagi SD yang menurut Piaget (dalam Hudoyo; 1990; Sutawidjaja;1997) tahap berpikirnya masih berada pada periode operasional konkret penyelesaian soal cerita sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditentukan masih tergolong sulit, misalnya pada penelitian Syafri Ahmad (2000) di SD Negeri Kaumang 1 Malang yang menemukan bahwa masih banyak siswa SD yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal Matematika khususnya soal berbentuk cerita. Hal ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh La Misu pada SD Negeri 32 Kendari Kecamatan Poasia kabupaten Kendari yang mengungkapkan hal yang sama.
Hal demikian juga terungkap di SD kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe, khususnya di SD Negeri 1 dan 2 Lebo kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe. Hasil observasi awal di SD Negeri 1 dan 2 Lebo kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe materi matematika yang sebagian besar kurang dikuasai oleh siswa adalah soal cerita. Hal ini disebabkan para siswa kurang menguasai materi dan prosedur penyelesaian soal. Dari hasil perbincangan dengan guru SD setempat usaha untuk membantu menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita sudah dilakukan, seperti pada setiap akhir pembelajaran mata pelajaran matematika siswa diberikan tugas pekerjaan rumah dalam bentuk soal matematika yang berbentuk cerita. tetapi kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita masih belum sesuai yang diharapkan.
Uraian-uraian di atas merupakan gambaran bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita merupakan suatu masalah yang perlu dikaji melalui suatu penelitian dengan judul “ Deskripsi kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam menyelesaikan Soal Matematika berbentuk Cerita ”
A.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang diketahui dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
2.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang tanyakan dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
3.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo pada Algoritma dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
B.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang ketahui, apa yang ditanyakan dan algoritma dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita.
C.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Sebagai bahan masukan bagi guru Matematika yang mengajar di kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo.
2.Sebagai bahan informasi bagi SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran Matematika.

BAB I
PENDAHULUAN
D.Latar Belakang
Pendidikan Matematika mendapat perhatian yang khusus, karena bidang ilmu ini mempunyai peranan yang sangat penting dan dipandang dapat memberikan kontribusi positif yang sangat besar alam memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, menyediakan berbagai kesempatan bagi siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar. Dengan berbagai kesempatan belajar tersebut pertumbuhan dan perkembangan siswa dapat diarahkan menjadi manusia-manusia yang berkualitas bagi pembangunan.
Dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan, maka Pendidikan Matematika sebagai salah satu pelajar pada setiap jenjang pendidikan persekolahan dipandang memegang peranan yang sangat penting bukan saja untuk dirinya sendiri, namun juga merupakan sarana berpikir untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hudoyo ( 1998 :74 ) bahwa aturan-aturan dalam science yang menjadi landasan teknologi, sejauh ini hanya diungkapkan dalam bahasa matematika.
Matematika sebagai salah satu bidang studi yang dirasakan sulit masih dalam pengajarannya. Salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan adalah membantu dan mengantisipasi kelemahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal Matematika yang berbentuk cerita. Pembelajaran Matematika yang berkualitas sangat diperlukan, karena disamping mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi, Matematika dapat melatih siswa berpikir secara logis, rasional, operasional dan terukur sesuai dengan karakteristik ilmu Matematika (Hudoyo dan Sutawidjaja :1997). Salah satu materi Matematika yang penting dipelajari siswa SD dan perlu ditingkatkan mutu pembelajarannya adalah materi yang disajikan dalam bentuk cerita (soal cerita).
Soal cerita biasanya merupakan soal terapan dari suatu pokok bahasan yang dihubungkan dengan masalah sehari-hari. Menurut Sutawidjaja (1992), soal cerita erat kaitannya dengan masalah kehidupan sehari-hari yang penting sekali diberikan dalam pembelajaran matematika SD. Karena pada umumnya soal cerita dapat digunakan (sebagai cikal bakal) untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah.
Bagi SD yang menurut Piaget (dalam Hudoyo; 1990; Sutawidjaja;1997) tahap berpikirnya masih berada pada periode operasional konkret penyelesaian soal cerita sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditentukan masih tergolong sulit, misalnya pada penelitian Syafri Ahmad (2000) di SD Negeri Kaumang 1 Malang yang menemukan bahwa masih banyak siswa SD yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal Matematika khususnya soal berbentuk cerita. Hal ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh La Misu pada SD Negeri 32 Kendari Kecamatan Poasia kabupaten Kendari yang mengungkapkan hal yang sama.
Hal demikian juga terungkap di SD kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe, khususnya di SD Negeri 1 dan 2 Lebo kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe. Hasil observasi awal di SD Negeri 1 dan 2 Lebo kecamatan Wawonii Timur kabupaten Konawe materi matematika yang sebagian besar kurang dikuasai oleh siswa adalah soal cerita. Hal ini disebabkan para siswa kurang menguasai materi dan prosedur penyelesaian soal. Dari hasil perbincangan dengan guru SD setempat usaha untuk membantu menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita sudah dilakukan, seperti pada setiap akhir pembelajaran mata pelajaran matematika siswa diberikan tugas pekerjaan rumah dalam bentuk soal matematika yang berbentuk cerita. tetapi kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita masih belum sesuai yang diharapkan.
Uraian-uraian di atas merupakan gambaran bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Matematika berbentuk cerita merupakan suatu masalah yang perlu dikaji melalui suatu penelitian dengan judul “ Deskripsi kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam menyelesaikan Soal Matematika berbentuk Cerita ”
E.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang diketahui dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
2.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang tanyakan dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
3.Bagaimanakah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo pada Algoritma dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita ?
F.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang ketahui, apa yang ditanyakan dan algoritma dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita.
G.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.Sebagai bahan masukan bagi guru Matematika yang mengajar di kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo.
4.Sebagai bahan informasi bagi SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran Matematika.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Pengertian Matematika
Matematika pada dasarnya merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan proses penalaran manusia yang membentuk pola pikir deduktif. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1980:148) mengemukakan tentang hakekat matematika yaitu :
“Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran. Matematika terdiri dari empat (4) wawasan yang luas yaitu : aritmetika, aljabar, geometri dan analisis. Dimana di dalam aritmetika mencakup antara lain teori bilangan dan statistika. Selain itu, matematika adalah ratunya ilmu, maksudnya adalah bahwa matematika itu tidak tergantung pada bidang studi lain; bahasa, dan agar dapat dipahami secara tepat kita harus menggunakan simbol atau istilah yang cermat dan disepakati bersama; ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (inductive) tetapi generalisasi yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif; ilmu tentang pola keteraturan; ilmu tentang struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke aksioma atau postulat akhirnya ke dalil ”

Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa terdapat dua hal yang sangat penting dalam matematika yaitu matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisasikan dan adanya hierarkhi dalam belajar matematika. Sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisasikan maksudnya adalah dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan yang didefinisikan kita buat aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil-dalil / teori setelah dibuktikan kebenarannya. Contohnya: dalam Geometri dikenal adanya titik, garis, lengkungan dan bidang merupakan unsur-unsur lain yang didefinisikan tetapi tidak diakui ada. Kemudian unsur-unsur lain yang didefinisikan seperti segitiga adalah lengkungan tertutup sederhana yang merupakan gabungan dari tiga buah ruas garis. Kemudian dari unsur-unsur ini dibuat suatu postulat seperti : melalui sebuah titik sebarang ke titik sebarang lainnya dapat ditarik sebuah garis lurus. Postulat adalah asumsi dasar dalam geometri yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena kebenarannya tidak disangsikan lagi. Sedangkan aksioma adalah asumsi dasar dalam aljabar yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Kemudian dari postulat di atas ditarik suatu dalil bahwa jumlah sudut-sudut segitiga besarnya 1800. (Ruseffendi, 1980:150) .
Kemudian Gie (1993:14) “ selain matematika bersifat abstrak, juga bersifat deduktif ”. Sebagai ilmu yang deduktif maka matematika dapat dipandang dapat sebagai suatu metode pemikiran , seperti yang ditegaskan oleh Kline bahwa terutama matematika sebagai suatu metode penyelidikan yang dikenal sebagai pemikiran berdasarkan postulat. Metode ini terdiri dari merumuskan secara seksama definisi-definisi tentang pengertian-pengertian yang akan dibahas dan menyebutkan secara tegas patokan pikiran yang akan merupakan dasar bagi penalaran. Dari beberapa definisi dan patokan pikir maka diturunkanlah kesimpulan-kesimpulan dengan memandang logika paling dekat yang mungkin dipakai orang (Morris Kline dalam The Liang Gie, 1993 :42).
Pernyataan dia atas menyimpulkan bahwa matematika telah berkembang menjadi ilmu sekaligus pola pikir yang menelaah pengertian-pengertian abstrak dengan langkah-langkah penyimpulan yang logis dengan metode pemikiran yang berdasarkan postulat. Kondisi ini akan berpengaruh pada proses belajar matematika, yakni harus mampu mengikuti pola pikir yang ada dalam matematika.
B.Proses Belajar Mengajar Matematika.
Sebagai uraian awal dikemukakan pengertian belajar dan mengajar secara umum, setelah itu dikaitkan dengan belajar mengajar matematika . Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dengan lingkungannya (Usman, 1990:2). Menurut Roestiyah (1989 :8) mendefinisikan belajar sebagai perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Dari definisi ini dikatakan bahwa seseorang mengalami proses jika pada perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan menguasai ilmu pengetahuan. Hal yang sama Winkel (1991:36) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu aktifitas mental / psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya, yang menghasilkan perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap serta perubahan itu bersifat relatif konstan.
Kata belajar sering kita dengar, bahkan lebih sering diartikan lebih sempit. Belajar hanya dikaitkan dengan belajar di sekolah, misalnya belajar matematika, biologi dan sebagainya sebagai hasil belajar juga berupa prestasi dan bentuk angka-angka atau nilai ujian. Gagne dalam Roestiyah (1991 :39) mengemukakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan ingatan mempengaruhi pelajar sedemikian rupa perbuatanya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu sewaktu ia mengalami situasi tadi. Morgan dalam Poerwanto (1992 :10) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari suatu latihan atau pengalaman. Slameto (1998) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Suryabrata (1990 :249) mengatakan bahwa : (1) belajar itu membawa perubahan dan (2) perubahan dalam belajar pada prinsipnya adalah Didapatkannya kecakapan baru. Rusyan dkk (1989 :7) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Syah (1999:92) mengemukakan bahwa belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian ini, perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar. Winkel (1984:14) mengemukakan bahwa belajar pada manusia merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang bersifat menetap / konstan. Sejalan dengan itu, Morgan dan Purwanto (1992:84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Lebih lanjut, Sardiman (1987:22) menyatakan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku / keterampilan dengan serangkaian misalnya ; membaca, mendengar dan lain sebagainya. Dari pendapat-pendapat di atas tentang belajar, dapat disimpulkan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang mengakibatkan bertambahnya pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diperoleh melalui pengalaman maupun interaksi individu dengan lingkungannya.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau dapat perubahan pada diri seseorang sebagai akibat dari pengalaman dan latihan serta pengulangan kembali yang dialami setiap individu yang tampak pada tingkah lakunya.
Dalam belajar matematika, hasil belajar diarahkan pada pemahaman konsep-konsep matematika, yang dapat mengantar individu kepada berpikir matematika berdasarkan aturan-aturan logis yang sistematis, dalam arti suatu topik matematika akan merupakan prasyarat bagi topik berikutnya. Kaitannya dengan hal ini Hudoyo (1988:3) menyatakan bahwa mempelajari konsep B seorang perlu dulu memahami konsep A, tanpa memahami konsep A tidak mungkin memahami konsep B, berarti dalam mempelajari matematika harus bertahap dan berurutan serta didasari pengalaman tertentu.
Dari uraian diatas menunjukkan materi matematika itu bersifat hierarkhis. Karena kehirarkhisan matematika itu lebih lanjut Hudoyo (1988:4) menyatakan bahwa belajar matematika yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar mengajar. Karena itu guru dalam mengajar kan matematika sesuai dengan urutan yang logis dalam arti dapat mengidentifikasi materi-materi sesuai dengan urutan yang menjadi prasyarat sesuai topik matematika
Dengan demikian, belajar matematika merupakan suatu bentuk belajar yang dilakukan secara sadar dan terencana serta pelaksanaannya dibutuhkan suatu proses aktif individu dalam memperoleh pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku.
Bruner dalam Hudoyo (1984:21) mengatakan bahwa belajar matematika yang cocok Adalah tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang ada dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur itu.
Proses belajar matematika merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik ini merupakan dasar utama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam proses belajar matematika, perlu diketahui karakteristik matematika sebagai salah satu unsur penting dalam pembelajaran tersebut. Karakteristik matematika yang dimaksud antara lain : 1) obyek matematika bersifat abstrak, dan 2) matematika disusun secara hierarkhis. (Hudoyo, 1988:5).
Obyek matematika ini yang bersifat abstrak itu terdiri dari fakta, konsep, prinsip dan keterampilan. Karena obyek matematika bersifat abstrak, maka dalam belajar matematika memerlukan daya nalar yang tinggi. Sehubungan dengan hal ini, Hudoyo (1984:4) mengatakan bahwa belajar matematika itu merupakan kegiatan mental yang tinggi. Demikian pula dalam mengajar matematika, guru harus mampu mengaplikasikan obyek matematika yang diajarkan.
Sehubungan dengan hal yang dikemukakan di atas juga dijelaskan bahwa materi yang ada dalam setiap kurikulum matematika dapat dibagi menjadi empat kategori penting yaitu : fakta, konsep. Skill dan prinsip (Anonim, 1995:23). Oleh karena itu dalam mengkaji butir-butir pelajaran matematika seorang guru perlu mengenali obyek penalaran yang terdiri dari fakta, konsep, skill dan prinsip. Pengertian mengenai fakta, konsep, skill dan prinsip adalah sebagai berikut :
1.Fakta merupakan hasil kesepakatan dalam matematika yang dapat diterima dan digunakan bagi kepentingan matematika itu sendiri maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa fakta adalah sembarang kemufakatan dalam matematika. Fakta matematika meliputi istilah (nama), notasi (lambang) dan kemufakatan (Konvensi).
2.Konsep dalam matematika merupakan pengertian abstrak yang memungkinkan seseorang dapat mengaplikasikan obyek atau kejadian. Secara umun, konsep dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu : konsep klasifikasi yaitu menyangkut kesamaan ciri obyek, konsep relasi yaitu menyangkut hubungan antara obyek dan konsep operasi yaitu mengenai terjadinya sesuatu.
3.Prinsip dalam matematika adalah pernyataan mengenai hubungan antara konsep-konsep . jadi prinsip terdiri dari konsep-konsep dan hubungannya antara konsep-konsep itu.
4.Skill merupakan prosedur atau kumpulan aturan-aturan yang digunakan untuk menyelesaikan soal dalam matematika. Pengembangan skill bagi peserta didik betul-betul diperlukan, tetapi skill tersebut harus berlandaskan pengertian dan tidak hanya penghafalan semata-mata.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam belajar matematika guru hendaknya memperhatikan keempat kategori yang ada dalam kurikulum matematika sehingga pembelajaran matematika dapat dilakukan secara optimal dan efektif. Dalam proses pembelajaran ini. Hierarkhi dalam belajar matematika yaitu yang mempelajari suatu topik dalam matematika, maka harus siswa yang mempunyai dasar terlebih dahulu mengenai prasyarat untuk mempelajari topik tersebut. Contohnya : penjumlahan sebagai syarat perkalian, bilangan asli sebagai prasyarat pecahan, sudut lurus sebagai prasyarat jumlah sudut-sudut segitiga dan lain sebagainya (Rusffendi, 1980:155).
Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dalam belajar matematika dapat diurutkan dalam beberapa langkah sebagai upaya memberikan pemahamam konsep, yaitu :
1.Guru memberikan pengalaman belajar berupa contoh-contoh yang berhubungan dengan suatu konsep matematika, sebut konsep X.
2.Siswa diberikan dua atau tiga contoh yang berbentuk pertanyaan, yaitu apakah contoh yang diberikan termasuk kualifikasi konsep X atau tidak. Guna dari proses ini adalah mengecek apakah konsep X telah dimengerti oleh siswa..
3.Siswa diminta memberikan contoh-contoh lain tentang konsep X. Gunanya adalah untuk menilai para siswa apakah sudah memahami secara benar konsep X tersebut.
4.Siswa mencoba mendefinisikan konsep X tersebut dengan bahsanya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar siswa latihan berpikir. Pada akhirnya, guru harus memberikan definisi yang tepat.
5.Untuk mengecek pemahaman kembali terhadap konsep X yang sudah didefinisikan tersebut, siswa perlu diberi contoh-contoh lain, baik yang menunjukkan konsep X ataupun yang bukan konsep X.
6.Guru perlu memberikan motivasi agar konsep tersebut betul-betul dipahami dan selalu diingat oleh siswa.
7.Langkah selanjutnya adalah memulai suatu konsep baru, sebut Y dengan dasar pemahaman terhadap konsep X yang telah dikuasai.
Seluruh langkah-langkah di atas, sebagai panduan belajar matematika siswa di sekolah merupakan hal yang dapat dilakukan oleh guru sehingga proses pencapaian penguasaan minimal (daya serap) siswa terhadap suatu konsep atau bahasan dapat tercapai.

C.Kemampuan Belajar Matematika
Pada dasarnya kemampuan yang ada pada seseorang merupakan bakat yang paling pokok, karena dengan kemampuan itu seseorang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri. Kemampuan diartikan sebagai daya untuk melakukan sesuatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan (Munandar, 1985:17) sedangkan daya yang dihasilkan sebagai akal yang berarti kekuatan berpikir (Poerwadarminta, 1984:233)
Kemampuan matematika berarti suatu usaha untuk melakukan tindakan pemecahan pada persoalan matematika yang dihadapi. Kemampuan matematika di sekolah ditunjukkan oleh siswa dengan cepat atau mudah memahami dan menguasai pelajaran matematika, juga senantiasa tertarik dengan apa yang dikatakan Kratetskii dan Samekto (1985 :5) bahwa dengan kemampuan mempelajari matematika kita dapat mengetahui karakteristik kejiwaan seseorang yang ditunjukkan oleh jawaban pada aktifitas dan kelancaran belajar sebagai matematika suatu pelajaran di sekolah dalam fakta secara cepat mudah dan seksama memahami pengetahuan, sifat dan kebiasaan dalam matematika.
Di sisi lain kemampuan matematika yang dikonotasikan sebagai prestasi belajar matematika adalah hasil yang telah dicapai seseorang pada suatu kegiatan belajar mengajar matematika yang menyangkut mutu dan nilai yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan Sastrapradja (1978 :50) bahwa prestasi adalah hasil belajar yang telah dicapai.
Dengan demikian pada dasar nya kemampuan matematika dapat dikaitkan dengan hasil yang telah diperoleh seseorang setelah mengikuti pelaksanaan ujian matematika dalam hal ini tes sebagai alat ukurnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Umar (1991: 5) tes prestasi biasanya disusun untuk mengukur tingkat kemampuan siswa terhadap bahan pelajaran matematika yang telah diajarkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa angka yang menyatakan kemampuan siswa terhadap bidang studi matematika merupakan prestasi belajar.
D.Prinsip-Prinsip Belajar Matematika
Prinsip-prinsip belajar matematika berbeda dengan belajar pada bidang studi lainnya. Tapilouw (1991:4-5) menyatakan bahwa prinsip-prinsip belajar matematika antara lain :
1.Kesiapan belajar yaitu kesiapan siswa belajar matematika sebagai suatu kondisi yang harus diperhatikan siswa sebab kesiapan belajar ini berbeda-beda pada setiap siswa
2.Penyelidikan dan penemuan yaitu upaya siswa menyelidiki dan menemukan sendiri aturan-aturan atau pola dan hubungan dalam matematika
3.Penekanan pada struktur matematika yaitu penekanan bahwa matematika merupakan struktur, tidak terpisah antara pokok bahasan yang satu dengan yang lainnya.
4.Berlatih secara berkala dan teratur yang diperlukan latihan secara berkala dan teratur dalam menyelesaiakan masalah-masalah yang ada dalam matematika.
Dari prinsip-prinsip di atas, maka dalam belajar matematika, aspek siswa sebagai subyek belajar harus diperhatikan oleh guru. Kesiapan siswa perlu dipertimbangkan oleh guru jika diinginkan adanya keberhasilan siswa dalam belajarnya.
E.Soal Cerita dan Langkah-Langkah Penyelesaiannya.
Permasalahan matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata biasa dituangkan dalam bentuk soal-soal cerita (verbal). Menurut Abidin (1989:10), soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan sehari-hari atau masalah lainnya. Bobot masalah yang diungkapkan akan mempengaruhi panjang pendeknya cerita tersebut. Makin besar bobot masalah yang diungkapkan, memungkinkan semakin panjang cerita yang disajikan. Sementara itu, menurut Haji (1994 :13), soal yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang matematika dapat berupa berbentuk cerita dan soal bukan cerita / soal hitungan. Dilanjutkannya, soal cerita merupakan modifikasi dari soal-soal hitungan yang berkaitan dengan kenyataan yang ada di lingkungan siswa. Lebih jauh Tapilouw (1990 :24) mengartikan soal cerita dalam matematika yaitu suatu bentuk soal yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang perlu diterjemahkan menjadi notasi kalimat matematika. Soal cerita yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah soal matematika yang berbentuk cerita yang terkait dengan berbagai pokok bahasan yang diajarkan pada mata pelajaran matematika di kelas V SD.
Soal cerita secara umum dapat diartikan sebagai suatu bentuk soal yang penyelesaiannya memerlukan suatu kaidah atau aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama. Sejalan dengan pengertian di atas soal cerita dalam matematika adalah suatu bentuk soal yang diselesaikan dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan dalam matematika yang logis.
Untuk dapat menyelesaiakn soal cerita, siswa harus menguasai hal-hal yang pernah diajarkan sebelumnya, misalnya pemahaman tentang saruan ukuran luas, satuan waktu, lebar, satuan berat dan sebagainya. Di samping itu, siswa harus menguasai materi prasyarat, seperti rumus, teorema, dan aturan-atiuran yang berlaku dalam matematika. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut akan membantu siswa dalam memahami maksud yang terkandung dalam soal-soal cerita tersebut.
Di samping hal-hal di atas, seorang siswa yang diperhadapkan pada soal cerita harus memahami langkah-langkah yang sistematik untuk menyelesaikan suatu masalah atau soal cerita matematika. Haji (1994:12) mengungkapkan bahwa untuk menyelesaiakan soal cerita dengan benar diperlukan kemampuan awal, yaitu kemampuan untuk : (1) menentukan hal yang diketahui dalam soal; (2) menentukan hal ditanyakan; (3) membuat model matematika; (4) melakukan perhitungan dan (5) menginterpretasikan jawaban model kepermasalahan semula. Hal ini sejalan dengan langkah-langkah penyelesaian soal cerita sebagaimana dituangkan dalam pedoman umum Matematika Sekolah Dasar (1983), yaitu : (1) membaca soal dan memikirkan hubungan antara bilangan-bilangan yangada dalam soal; (2) menuliskan kalimat matematika; (3) menyelesaikan kalimat matematika dan (4) menggunakan penyelesaian untuk menjawab pertanyaan.
Dari kedua pendapat di atas terlihat bahwa hal yang penting dan utama dalam menyelesaikan suatu soal cerita adalah pemahaman terhadap suatu masalah sehingga dapat dipilih antara yang diketahui dengan yang ditanyakan. Untuk melakukan hal ini, Hudoyo dan Surawidjaja (1997;195) memeberikan petunjuk : (1) baca dan bacalah ulang masalah tersebut, pahami kata demi kata, kalimat demi kalimat; (2) identifikasi apa yang diketahui dari masalah tersebut; (3) identifikasi apa yang hendak dicari; (4) abaikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan; (5) jangan menambahkan hal-hal yang tidak ada sehingga permasalahan menjadi berbeda dengan masalah yang dihadapi.
Pendapat-pendapat di atas sejalan dengan pendapat Soejadi (1992:65), bahwa untuk menyerlesaiakan soal matematika umumnya dan terutama soal cerita dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.Membaca soal dengan cermat umtuk menangkap makna tiap kalimat
2.Memisalkan dan mengungkapkan :
Apa yang diketahui dalam soal
Apa yang diminta / ditanya oleh soal
Operasi / pengerjaan apa yang perlu dilakukan
3.Membuat model matematika dari soal
4.Menyelesaikan model menurut aturan-aturan matematika sehingga mendapat jawaban dari model tersebut
5.Mengembalikan jawaban pada soal asal.
Mencermati beberapa pendapat di atas, maka langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan soal bentuk cerita yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) menentukkan hal diketahui dalam soal; (2) menentukkan hal yang ditanyakan dalam soal; (3) membuat model / kalimat matematika; (4) melakukan perhitungan (menyelesaiakan kalimat matematika); dan (5) menuliskan jawaban akhir sesuai dengan permintaan soal.

BAB III
METODE PENELITIAN
A.Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 dan 2 Lebo Kecamatan Wawonii Timur Kabupaten Konawe dan waktu pelaksanaannya dari tanggal 5 Juni sampai dengan tanggal 15 Juni 2007.
B.Variabel Penelitian
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan karakteristik / sifat suatu variabel, maka fokus utama penelitian ini adalah karakteristik / sifat kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita. Dalam proses analisisnya, maka variabel ini dibagi menjadi 6 (enam) sub variabel yaitu :
1.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 Lebo dalam memahami apa yang diketahui dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (X1)
2.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 Lebo dalam memahami apa yang ditanyakan dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (X2)
3.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 1 Lebo dalam algoritma soal menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (X3)
4.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 2 Lebo dalam memahami apa yang diketahui dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (XA)
5.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 2 Lebo dalam memahami apa yang ditanyakan dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (XB)
6.Kemampuan murid kelas V SD Negeri 2 Lebo dalam algoritma soal menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita (XC)
C.Definisi Operasional Variabel
Kemampuan dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita adalah nilai yang diperoleh murid kelas V SD Negeri 1 dan 2 Lebo dalam memahami apa yang diketahui, ditanyakan dan algoritma soal dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita
D.Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah murid kelas V kelas SD Negeri 1 dan 2 Lebo yang terdiri 30 orang 16 murid SD Negeri 1 Lebo dan 14 murid SD Negeri 2 Lebo
E.Instrumen Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan pemberian tes dalam bentuk esay tes dengan maksud untuk mengetahui kemampuan murid dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita.

F.Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah memberikan tes kepada murid dengan maksud untuk mengetahui kemampuan murid dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita.
G.Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik statistik deskriptif, untuk menggambarkan karakteristik variabel penelitian meliputi ukuran pemusatan seperti rata-rata, modus, median dan ukuran penyebaran seperti varian, simpangan baku, kuartil dan rentang. Untuk menggambarkan kecenderungan kemampuan dalam menyelesaikan soal matematika digunakan histogram dan diagram batang.
Untuk memudahkan penulis dalam menentukan tingkat kemampuan atau tingkat penguasaan siswa dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita digunakan kriteria sebagai berikut :


Dimana X adalah nilai kemampuan murid SD dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita. (Poerwanto, 1990 : 112)
Selanjutnya jumlah yang diperoleh dinyatakan dalam bentuk persentase. Adapun rumus persentase yang digunakan untuk menentukan persentase penguasaan siswa adalah

Dimana X = Nilai yang diharapkan
R = Jumlah skor dari soal yang dijawab benar
N = Skor maksimum dari tes





0 komentar:

Posting Komentar