Jumat, 17 Juli 2009

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) PADA POKOK BAHASAN PERSAMAAN KUADRAT KELAS I DI SMU

A. Latar Belakang
Sudah banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan matematika di sekolah, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sebagai indikator rendanya kualitas pendidikan matematika adalah sebagai berikut;
1. Prestasi siswa (SLTP), Indonesia menempati urutan ke-34 dari 38 negara (dalam E.T Ruseffendi, 2003).
2. Nilai Evaluasi Murni (NEM) matematika (SMU) periode 1996-2001 rata-rata dibawah 5 (Yusuf Kalla dalam Kompas, 2002).
3. Jumlah siswa yang mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) susulan mata pelajaran matematika 2002/2003 paling banyak dibandingkan dua mata pelajaran yang lainnya yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (Radiyo dalam Kompas, 2002).


Arrasyid (1995: 6) menyatakan bahwa kecenderungan rendahnya NEM siswa dalam pelajaran matematika dapat dijadikan suatu dasar induksi untuk menyatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami obyek-obyek matematika rendah. Penyebab rendahnya kualitas pendidikan matematika adalah kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah selama ini lebih berorientasi pada guru. Maksudnya siswa dalam kegiatan pembelajaran hanya berperan sebagai pendengar dan pencatat sehingga siswa bersifat pasif. Hal ini sesuai dengan pendapat Marpaung (1995: 5) bahwa :
“...... mungkin ada hubungannya dengan proses pembelajaran di kelas yang berorientasi pada kurikulum, yaitu guru berpandangan bahwa tugas utama mereka ialah menyelesaikan bahan pelajaran yang termuat dalam GBPP atau dalam buku murid, bukan untuk menolong murid agar mereka mengerti materi yang mereka pelajari. Proses belajar mengajar di kelas sangat didominasi oleh guru, murid menerima secara pasif saja, bahkan mereka hanya berusaha menghafal rumus-rumus.”

Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu usaha yang perlu dilakukan guru matematika adalah mengoptimalkan keberadaan siswa sebagai obyek dan sekaligus subyek pembelajaran. Maksud obyek pembelajaran karena siswalah yang menerima materi pelajaran, sedangkan subyek pembelajaran karena siswalah yang aktif dalam kegiatan pembelajaran bukan guru.
Salah satu cara yang dapat digunakan guru untuk mengaktifkan siswa adalah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Pembelajaran kooperatif lebih menempatkan siswa sebagai subyek dalam kegiatan pembelajaran dan bukan sebagai obyek. Menurut Suherman (2001: 218), dengan menonjolkan interaksi dalam kelompok, model pembelajaran kooperatif dapat membuat siswa menerima siswa lain yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda.
Pembelajaran kooperatif telah diyakini menjadi salah satu alternatif dalam memperbaiki kualitas kegiatan pembelajaran matematika. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Lundgren (dalam Suradi, 2003:1) bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya. Sedangkan hasil penelitian Leiken dan Zaslavsky (1997) menunjukkan bahwa 86,3% waktu yang tersedia untuk proses pembelajaran matematika secara kooperatif digunakan siswa secara aktif berinteraksi dengan siswa lain dan melakukan aktivitas pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif menurut Arends terdiri dari 4 pendekatan yaitu Student Teams Achievement Division( STAD), Jigsaw, Investigasi Kelompok (IK), dan pendekatan Struktural.
Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan empat pendekatan dalam pembelajaran kooperatif.

Berdasarkan tabel di atas, pembelajaran kooperatif terdiri dari dari beberapa pendekatan, salah satu diantaranya adalah pendekatan struktural Numbered Heads Together (NTH). Pendekatan struktural NHT menekankan pada penggunaan struktur tertentu (pelabelan anggotanya) yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Pendekatan struktural (NHT) memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa dalam berpikir, menjawab, dan saling membantu satu dengan yang lain (Arends, 2001:325). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lince (2001: 96) di SMP dan Ahmad I.M (2004: 129) di SMU menyimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural jenis numbered heads togehter menunjukkan hasil yang baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional
Dalam petunjuk kurikulum berbasis kompetensi (Depdinas,2003) pokok bahasan persamaan kuadrat merupakan salah satu pokok bahasan matematika yang diajarkan pada siswa kelas 1 SMU. Berdasarkan hasil penelitian , sebagian besar siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Hal ini sesuai hasil pengamatan dan pengalaman Ichsan (dalam Siadari, 2001: 3) selama mengajar SMU swasta di Pontianak, apabila siswa diberikan soal-soal persamaan kuadrat untuk a  1 kemudian menyelesaikannya dengan memfaktorkan ternyata 80% dari jumlah siswa di tiap kelas tidak mampu menyelesaikan dengan baik, padahal untuk soal-soal dengan a = 1 dapat diselesaikan siswa dengan baik. Didasarkan gambaran kesulitan siswa tersebut, guru dituntut mencari alternatif pembelajaran untuk membantu siswa agar dapat menyelesaikan persamaan kuadrat dengan benar.
Berdasarkan pendapat-pendapat dan data di atas, perlu kiranya dipertimbangkan alternatif pembelajaran, khususnya untuk materi persamaan kuadrat. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mengatasi kesulitan siswa sebagaimana diutarakan di atas yaitu menerapkan pembelajaran yang sesuai untuk topik itu. Soedjadi (2000:201) menyatakan bahwa betapapun tepat dan baik bahan ajar matematika yang dinginkan. Salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin meneliti penerapan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT pada pokok bahasan persamaan kuadrat di kelas I SMA. Penulis memilih pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT karena pembelajaran ini memberi siswa lebih banyak dalam berpikir, menjawab, dan saling membantu satu dengan yang lain.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural Numbered Heads Together (NHT) pada pokok bahasan persamaan kuadrat?
2. Apakah pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural Numbered Heads Together (NHT) efektif dalam pembelajaran pokok bahasan persamaan kuadrat ?
3. Apakah hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural lebih Numbered Heads Together (NHT) baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Secara rinci tujuan tersebut adalah :
1. Untuk menghasilkan pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT
2. Untuk mendeskripsikan keefektifan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT dalam pembelajaran pokok bahasan persamaan kuadrat
3. Untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
D. Batasan Istilah
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah yang digunakan dalam proposal penelitian ini, perlu diberikan batasan istilah/penjelasan sebagai berikut:
1. Pengembangan perangkat pembelajaran adalah suatu proses untuk mendapatkan perangkat pembelajaran
2. Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar atau alat perlengkapan yang memungkinkan guru dan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan Rencana Pelajaran (RP), Lembar kegiatan siswa (LKS), Paduan LKS
3. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar dimana siswa belajar dalam kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda, sebagian prestasi dihargai oleh usaha dan keberhasilan kelompok, tidak hanya prestasi individu.
4. Pendekatan struktural Numbered Heads Together (NHT) adalah salah satu pendekatan dari pembelajaran kooperatif yang menekankan pada penggunaan struktur tertentu (pelabelan anggotanya) yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
5. Pembelajaran konvensional adalah proses pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah (sering disebut pembelajaran tradisional) yaitu pembelajaran yang dimulai dengan pemaparan materi (definisi dan teorema) selanjutnya diberikan contoh soal dan terakhir evaluasi melalui latihan soal.
5. Keefektifan pembelajaran yang dimaksud adalah seberapa besar pembelajaran yang direncanakan dapat tercapai. Ketercapaian keefektifan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT didasarkan pada : (1) Ketuntasan belajar, (2) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, (3) Aktifitas siswa, (4) Respon siswa terhadap pembelajaran.
6 Ketuntasan belajar yaitu pencapaian tingkat penguasaan tujuan pembelajaran tertentu.
7. Hasil belajar adalah tingkat pencapaian belajar yang diukur dengan skor diperoleh berdasarkan tes hasil belajar setelah mengikuti pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT.
8. Aktifitas siswa adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran, meliputi: mendengar/memperhatikan penjelasan guru atau temannya, membaca/memahami masalah, bekerja menyelesaikan masalah dengan teman sebangkunya, bertanya kepada guru, bertanya kepada temannya, menjawab/menunjukkan ide, perilaku yang tidak relevan dengan pembelajaran.
9. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran adalah keterlibatan dan kemampuan guru dalam melaksanakan setiap tahap pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT yang diukur dengan menggunakan lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran.
10. Respon siswa adalah tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT dan komponen pembelajaran (materi, buku siswa, lembar kerja siswa). Respon tersebut dikatagori dalam kategori senang dan tidak senang, baru dan tidak baru dan sebagainya. Disamping itu juga mengetahui minat siswa untuk mengikuti pembelajaran yang sama pada pembelajaran berikutnya.
E. Keterbatasan dan Assumsi Penelitian
1. Keterbatasan Penelitian
a. Subyek penelitian adalah siswa SMU IPIEMS Surabaya di kelas I semester 1.
b. Bahan kajian yang dipilih terbatas pada subpokok bahasan persamaan kuadrat yaitu menentukan akar akar persamaan kuadrat.
c. Penilaian hanya berupa penilaian produk karena tidak dikembangkan instrumen penilaian proses.
2. Assumsi Penelitian
a. Siswa mengerjakan tes hasil belajar dengan sungguh-sungguh sehingga mencerminkan kemampuan siswa.
b. Siswa sungguh-sungguh mengisi angket respon siswa, sehingga hasil angket mencerminkan tanggapan siswa terhadap pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai suatu alternatif untuk memperbaiki proses pembelajaran di bidang matematika sehingga siswa benar-benar mampu memahami tentang pokok bahasan persamaan kuadrat.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru matematika dalam memilih suatu model pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Dapat memberikan informasi untuk penelitian yang berkenaan tentang model pembelajaran kooperatif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A Pembelajaran Matematika
Pengertian belajar menurut Soedjana (1989: 28) adalah suatu proses yang ditandai adanya perubahan pada diri seseorang. Menurut Kimble dan Garezy (dalam Sastrawijaya dan Kardi, 1995:54) belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai akibat dari latihan-latihan yang memperoleh pemantapan. Perolehan pemantapan bisa datang dari diri sendiri atau orang lain. Maksud orang lain adalah guru atau teman diskusi.
Bila dikaitkan dengan mata pelajaran matematika, maka siswa dikatakan belajar matematika jika pada diri siswa terjadi perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika.
Menurut Herman (2001: 91) mengajar dilukiskan sebagai suatu proses interaksi antara guru dan siswa, guru mengharapkan siswa dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang benar-benar dipilih oleh guru. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipilih oleh guru hendaknya relevan dengan tujuan pelajaran yang akan diberikan dan disesuaikan dengan struktur kognitif siswa. Dengan demikian mengajar dapat digunakan untuk melihat bagaimana proses belajar berjalan. Tidak hanya menyatakan dan memerintahkan atau tidak hanya membiarkan siswa belajar sendiri, tetapi mengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari, bertanya, menebak, menalar, dan mendebat.
B. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian pembelajaran kooperatif
Kauchak dan Eggen (1993: 319) mendefinisikan belajar kooperatif adalah sebagai kumpulan strategi mengajar yang digunakan untuk membantu siswa satu dengan yang lain dalam suatu kelompok untuk memperlajari sesuatu. Sedangkan Slavin (1995: 50) menjelaskan bahwa siswa dalam pembelajaran kooperatif akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat mendiskusikan konsep-konsep itu dengan teman mereka. Pembelajaran kooperatif mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas atau mengerjakan sesuatu untuk tujuan bersama lainnya.
Untuk mengoptimalkan manfaat pembelajaran kooperatif, keanggotaan harus heterogen baik aspek sosial maupun akademik, tetapi yang penting adalah heterogen akademik. Jika siswa yang mempunyai kemampuan berbeda dimasukkan dalam satu kelompok yang sama maka akan dapat memberikan keuntungan bagi para siswa yang berkemampuan rendah dan sedang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suradi (2003:3) menyimpulkan bahwa interaksi siswa yang berkemampuan akademik tinggi lebih banyak terjadi dengan siswa yang berkemampuan sedang, sedangkan siswa yang berkemampuan sedang lebih banyak berinteraksi dengan siswa yang berkempuan rendah. Dengan demikian agar terbentuk kelompok yang heterogen, sebaiknya kelompok dibentuk oleh guru.
Dalam pembelajaran kooperatif siswa akan terlatih untuk mendengar pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat-pendapat tersebut dalam bentuk tulisan. Tugas–tugas orang lain akan memacu siswa untuk bekerja sama, saling membantu dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimiliki.
Ada tiga tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
1) Prestasi akademik
Pembelajaran kooperatif sangat menguntungkan baik bagi siswa berkemampuan tinggi maupun rendah. Khususnya bagi siswa berkemampuan tinggi, secara akademik akan mendapat keuntungan karena pengetahuan semakin mendalam.
2) Penerimaan terhadap keanekaragaman
Heterogen yang ditonjolkan dalam pemilihan anggota kelompok akan mengarahkan siswa untuk mengakui dan menerima perbedaan yang ada antara dirinya dan orang lain.
3) Pengembangan keterampilan sosial
Pembelajaran kooperatif bertujuan mengarahkan kepada keterampilan-keterampilan kerjasama sebagai suatu tim. Keterampilan ini kelak akan sangat bermanfaat bagi siswa ketika mereka terjun di masyarakat.
Berikut ini adalah fase-fase pembelajaran kooperatif dari Arends (1997: 113)

2. Pendekatan Struktural Numbered Heads Together (NHT)
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spenser Kagan dkk (dalam Arends, 2001: 324). Meskipun memiliki banyak persamaan dengan pendekatan yang lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang dikembangkan oleh Kagan dimaksudkan yaitu; (1) sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, yaitu guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk, (2) menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil, (3) lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif daripada penghargaan individu.
Dalam pendekatan struktural ada dua struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan isi akademik dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Menurut Arends (1997: 122), ada dua macam struktur yang terkenal yaitu thin-pair share dan numbered-heads together, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akademik atau mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu.
Numbered-heads together adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagan (dalam Ibrahim, 2000: 28) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
3. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Struktural Numbered Heads Together (NHT).
Ada empat langkah pendekatan struktural numbered-heads together (NHT) dalam pembelajaran (Muslimin, dkk. 2000) yaitu ;
Langkah 1. Penomoran.
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggota 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.
Langkah 2. Mengajukan pertanyaan.
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
Langkah 3. Berpikir.
Siswa menyatukan pendapat tentang jawaban pertanyaan, dan meyakinkan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban tersebut.
Langkah 4. Menjawab.
Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai, mengacungkan tangan dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Berdasarkan pada empat langkah pokok pembelajaran struktural NHT di atas, penulis memodifikasi kegiatan pembelajaran kooperatif dengan pndekatan struktural NHT sebagai berikut:

4. Teman Sebaya
Menurut ahli membedakan jenis lingkungan pendidikan menjadi dua (dalam Tjiptojoewono ,1994) yaitu:
1) Lingkungan alam, adalah segala sesuatu yang ada di dunia yang berada di luar diri anak yang bukan manusia. Contohnya binatang, tumbuh-tumbuhan, iklim, air, gedung, dan rumah.
2) Lingkungan sosial, adalah semua manusia yang berada di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi diri orang tersebut. Teman sekolah, teman sebaya, atau orang sekitar tempat tinggal merupakan lingkungan sosial yang bersifat langsung.
Jadi dalam hal ini teman sebaya juga merupakan sahabat yang mempengaruhi pendidikan seorang anak. Teman sebaya dapat dijadikan sebagai sumber dan bantuan belajar, sebab sumber belajar tidak harus dari guru. Bantuan belajar dari teman diharapkan dapat menghilangkan kecanggungan. Bahasa teman sebaya lebih mudah untuk dipahami. Dengan teman sebaya diharapkan pula tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu untuk bertanya ataupun minta bantuan.
C. Paham Konstruktivisme
1. Pandangan konstruktivis menurut Pembelajaran matematika
Menurut Sutrisno (1993:7) belajar menurut pandangan konstruktivis adalah sebagai usaha siswa aktif untuk mencari arti tentang sesuatu bagi dirinya melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan Mousley (dalam Malone dan Taylor, 1993:125) menyatakan bahwa belajar dimaksudkan sebagai sesuatu proses yang aktif dan produktif. Selanjutnya Simone (dalam Mlone dan Taylor, 1993: 97) menyebutkan bahwa belajar matematika adalah sesuatu proses life-forming yaitu sesuatu proses penyesuian yang interaktif mengenai sesuatu kultur melalui partisipasi aktif, lebih dari sekedar pemindahan pengetahuan.
Dari uraian pengertian belajar di atas, dalam kegiatan pembelajaran guru sepatutnya tidak lagi menempatkan siswa sebagai individu yang pasif dan siap menerima sesuatu pengetahuan baru kapan saja tanpa memahami apa yan telah dimilikinya. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses belajar perlu ditekankan pembentukan sesuatu pemikiran kritis dengan mengembangkan konsepsi atau pengetahuan yang telah ada.
Menurut pandangan kontruktivisme bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah hasil kontruksi individu yang bersangkutan dan berasal dari lingkungannya. Berkaitan dengan assumsi ini Confrey (dalam Malone dan Taylor, 1993: 9) menyatakan bahwa matematika tidak dibangun dari data sensori, tetapi dibangun dari aktivitas manusia. Artinya siswa membangun pengetahuan dari pengetahuan sendiri melalui pengalamannya berhubungan dengan siswa lain atau lingkungannya.
Mengacu kepada pandangan kontruktivisme, belajar dapat diartikan sebagai peristiwa, siswa secara terus menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan.
Pendekatan kontruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada botton-up. Top-down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Botton-up berarti siswa mulai dengan mempelajari keterampilan (pengetahuan) dasar secara bertahap menuju keterampilan (pengetahuan) yang lebih kompleks.
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran sesuai dengan pembelajaran kooperatif, berdasarkan teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya (Slavin, 1995:50). Sebab dalam pembelajaran kooperatif siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
2. Teori yang terkait dengan pembelajaran kooperatif
Banyak tokoh yang mendukung pembelajaran kooperatif. Namun dalam proposal penelitian ini yang akan dibahas adalah sebagian dari pendapat tokoh-tokoh utamanya.
a. Teori John Dewey
Menurut John Dewey kehidupan sosial mencakup kegiatan saling tukar-menukar pengertian, norma, ide, keyakinan, dan pengalaman. Kegiatan sehari-hari yang memungkinan berkembangnya pengetahuan pada diri individu.
Selanjutnya Dewey berpendapat bahwa pendidikan merupakan lembaga yang memungkinkan berkembangnya hal-hal tersebut di atas. Dalam hal ini penyelenggaraan pengajaran haruslah berpusat pada kehidupan nyata yang :
1) benar-benar merupakan perwujudan dari hasrat pribadi yang ada pada diri individu.
2) memungkinkan berlangsungnya interaksi sosial dan berkembangnya kemampuan pengendalian suasana.
3) bersifat problematik sehingga merangsang penjelajahan berpikir yang lebih mendalam.
Dari uraian di atas, implikasi teori Dewey terhadap pembelajaran kooperatif adalah pentingnya penyelenggaraan pengajaran yang bersifat aktif, tidak terfokus pada guru. Tugas guru antara lain memotivasi siswa untuk aktif bekerja secara kooperatif.
b. Teori Vygotsky
Empat prinsip penting yang dikemukakan dalam Teori Vygotsky (Nur, Wikandari, dan Sugiarto 1999) adalah:
a) Pembelajaran sosial
Pembelajaran sosial, penekanan pada hakekat sosial pembelajaran, siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka dengan harapan siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan teman sebaya
b) Zona Perkembangan Terdekat (Zone of Proximal Development)
Zona perkembangan terdekat yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara pengertian spontan dengan pengertian sistematis logis orang dewasa (pengertian ilmiah). Idenya bahwa siswa belajar konsep paling baik jika konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat, yang terjadi pada saat siswa terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, tetapi dapat menyelesaikannya jika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya mereka.
c) Pemagangan Kognitif (cognitif Apprenticeschip)
Pemagangan kognitif menekankan hakekat sosial dan zona perkembangan terdekat, yang mengacu pada proses dimana seseorang yang belajar secara tahap demi setahap memperoleh keahlian dan interaksinya dengan seorang pakar, pakar itu bisa orang dewasa, atau orang lain yang lebih tau atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya.
d) Scaffolding atau Mediated Learning
Scaffolding menekankan bahwa siswa seharusnya diberi tugas kompleks, sulit dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan penekanan perancahan dalam pembelajaran suapaya siswa mempunyai tanggung jawab terhadap belajar. Selanjutnya perancahan merupakan suatu cara untuk membantu siswa dalam zona perkembangan terdekatnya di mana guru memberikan petunjuk atau saran secara bertahap.
c. Teori Piaget
Perkembangan kognitif manusia pada dasarnya seiring dengan perubahan kemampuan mental manusia dan waktu ke waktu. Menurut Piaget (dalam Nur, 1998: 7), perkembangan sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Selanjutnya Piaget yakin bahwa anak-anak dilahirkan dengan kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk berinteraksi dan sabar dengan lingkungan mereka.
Pola perilaku atau berpikir yang digunakan manusia dalam menguasai obyek-obyek di dunia disebut dengan skema. Perkembangan skema manusia berlangsung terus menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Menurut Piaget, adaptasi adalah proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi (nur, 1998:8).
Asimilasi adalah proses memahami obyek atau kejadian baru yang dipandang ari suatu skema yang ada. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbukti secara tidak langsung. Selanjutnya dalam proses perkembangan kognitif seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini disebut dengan equalibrium(Suparno, 1997:32).
Pada bagian lain Slavin menegaskan bahwa teori perkembangan Piaget meawakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi –interaksi mereka. Ini berarti bahwa anak- anak mengkonstruksi pengetahuan secara terus menerus dengan mengasimilasi dan mengakomodasi informasi – informasi baru.
Menurut Berk dalam Nur (1998 : 27) disebutkan bahwa implikasi pengajaran yang diturunkan dari teori Piaget adalah memfokuskan pada proses berpikir anak tidak sekedar pada produknya, pengenalan dan pengakuan terhadap anak atas keterlibatan dalam proses pembelajaran dan penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran kooperatif yaitu ;
1. Guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang dimiliki siswa sehingga belajar sebagai proses konstruksi dapat terwujud. Dalam pembelajaran perlu diintergrasikan kondisi yang realistik dan relevan dengan cara melibatkan pengalaman konkret siswa.
2. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
3. Memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja.
4. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa untuk mengtahui apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka pikirkan. Demikian pula interaki antar siswa dan antar kelompok perlu mendapat perhatian.
5. Memaklumi akan adanya perbedaan individu, termasuk dalam hal perkembangan kognitif siwa.
6. Guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran dan apa yang akan dipelajari di awal kegiatan pembelajaran. Hal ini akan mempengaruhi keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, sebab ia tahu apa yang akan dipelajari dan kemampuan minimal yang harus dimiliki setelah pembelajaran.
7. Guru perlu lebih fleksibel dalam menanggapi jawaban atau pemikiran siswa.

D. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Struktural.
Kekebihan yang dapat diperoleh dari pendekatan struktural dalam pembelajaran
( Lince: 2001) adalah sebagai berikut:
1. Siswa dapat berintegrasi dalam memecahkan masalah.
2. Dapat meningkatkan perolehan isi akademik dan keterampilan sosial.
3. Setiap siswa dalam kelompoknya berusaha untuk mengetahui jawaban pertanyaan yang diberikan (semua aktif).
4. Melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi mulai diskusi kelompok sampai presentasi jawaban suatu pertanyaan/permasalahan.
5. Meningkatkan keterampilan berpikir siswa baik secara individu maupun kelompok.
Kelemahan adalah apabila jumlah siswa dalam kelas sangat besar maka guru akan mengalami kesulitan untuk membimbing siswa yang membutuhkan bimbingan.
E. Pembelajaran Konvensional
Menurut Russefendi (1992:74) pembelajaran matematika konvensional pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses dan pengajaran masih berpusat kepada guru. Dengan demikian metode yang lebih dominan digunakan dalam pembelajaran konvensional adalah metode ceramah dan tanya jawa
Perbedaan antara kelompok pembelajaran kooperatif dengan kelompok belajar secara konvensional menurut Lundgren (1994: 5) terangkum dalam tabel dibawah ini:

F. Bahan Kajian Persamaan Kuadrat
Mengacu pada pedoman kurikulum berbasis kompetensi (Depdiknas ;2003) Matematika SMA materi yang akan dijadikan bahan penelitian adalah sub pokok bahasan akar akar persamaan kuadrat sebagai berikut:
1. Menyelesaikan persamaan kuadrat, yaitu ax2 + bx + c = 0, a,b,c  R untuk
a =1 dengan cara memfaktorkan.
2. Menyelesaikan persamaan kuadrat, yaitu ax2 + bx + c = 0, a,b,c  R untuk
a  1 dengan cara memfaktorkan.
3. Menyelesaikan persamaan kuadrat, yaitu ax2 + bx + c = 0, a,b,c  R dan
a  0 dengan bentuk kuadrat sempurna.
4. Menyelesaikan persamaan kuadrat, yaitu ax2 + bx + c = 0, a,b,c  R dan a  0 dengan rumus abc.
G. Keefektifan Pembelajaran
Reigeluth dan Meril (dalam Degeng, 1989: 165), mengemukakan keefektifan pengajaran harus selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Salah satu yang terpenting ialah kecermatan penguasaan perilaku. Kecermatan pengamatan perilaku maksudnya, makin cermat siswa menguasai perilaku yang dipelajari makin efektif pengajaran yang telah dijalankan. Atau makin kecil tingkat kesalahan, berarti makin kecil efektif pengajaran.
Menurut Theresia dan Soemiryarno (1993:33) lima syarat utama keefetifan pembelajaran, yaitu; (1) prosentase waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap kandungan akademik, (2) rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa, (3) ketetapan kandungan materi dengan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan, (4) mengembangkan suasana kelas yang akrab dan positif, (5) mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir 2 tanpa mengabaikan
butir 4.
Selanjutnya kriteria untuk pembelajaran yang efektif Theresia dan Soemiyarno (1993:34) menyatakan bahwa pengajaran yang diatur secara informal yang menunjukkan rata-rata kelebihan waktu belajar akademik yang tinggi dapat dianggap sebagai pembelajaran yang efektif. Keefektifan suatu proses mengajar belajar pula diukur dari tercapainya tujuan pokok bahasan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila; (1) siswa telah tuntas belajar, (2) ketuntasan TPK tercapai, (3) aktivitas siswa selama pembelajaran baik, (4) pengelolaan pembelajaran baik, (5) respon siswa terhadap pembelajaran.
H. Aktivitas
Menurut Artha (1991: 62) aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting dalam interaksi mengajar belajar. Sedangkan Suhito (1998) menyatakan bahwa keberhasilan siswa dalam belajar matematika sangat ditentukan oleh intensi aktivitas siswa yang menyertai proses belajar.
Aktivitas-aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran, menurut Pramono(1997: 226) adalah berupa pengajuan pertanyaan, perumusan masalah, pengerjaan tugas-tugas serta latihan. Sedangkan Suhito (1998) menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas siswa terhadap penjelasan/pengarahan guru adalah pandangan atau tatapan siswa, mencatat, dan mendengar.
Berdasarkan uraian di atas aktivitas tersebut, dapat diketahui jika dalam proses pembelajaran tidak hanya siswa yang melakukan aktivitas. Guru pun perlu untuk ditinjau aktivitasnya, sebab keberhasilan pelaksanaan pembelajaran melibatkan guru. Maksud dari aktivitas guru dalam proposal penelitian ini adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
Aktivitas-aktivitas siswa dan guru selama pelaksanaan pembelajaran adalah :
1. Aktivitas siswa
Adapun aktivitas-aktivitas siswa selama pelaksanaan pembelajaran yaitu; (1) mendengarkan /memperhatikan penjelasan guru/teman, (2) mencatat/mendiskusikan pertanyaan guru, (3) mengerjakan/mendiskusikan pertanyaan guru, (4) menyajikan hasil diskusi kelompok, (5) menanggapi jawaban hasil diskusi kelompok lain, (6) merangkum materi pelajaran, (7) menulis/mengerjakan tugas, (8) perilaku yang tidak sesuai dengan proses pembelajaran (bicara, melihat, dan bergerak yang tidak ada manfaat dalam proses pembelajaran.
2. Aktivitas/kemampuan guru mengelola pembelajaran
Adapun aktivitas/kemampuan guru mengelola pembelajaran yaitu; (1) mengorganisasikan siswa, (2) memotivasikan siswa, (3) mengaitkan pelajaran sekarang dengan pelajaran sebelumnya, (3) menyampaikan TPK, (4) menjelaskan pelajaran yang akan diberikan, (5) menjelaskan materi, (6) mengajukan pertanyaan, (7) membimbing siswa mengerjakan LKS, (8) membimbing siswa menyampaikan hasil diskusi, (9) memberi umpan balik, (10) membimbing siswa merangkum materi, (11) memberi penguatan atau kuis, (12) memberikan pujian kelompok atau individual
I. Model Pengembangan Sistem dan Perangkat Pembelajaran
Ada beberapa model pengembangan sistem dan perangkat pembelajaran, diantaranya dapat disajikan sebagai berikut:
1. Model Pengembangan Sistem Pembelajaran menurut PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional).
Model pengembangan sistem pembelajaran menurut PPSI terdiri dari lima tahap (dalam Soetopo dan Soemanto, 1986:71) yaitu; (1) perumusan tujuan, (2) pengembangan alat evaluasi, (3) kegiatan belajar, (4) pengembangan program kegiatan, (5) pelaksanaan. Diagram Model PPSI sebagai berikut:

2. Model pengembangan menurut Kemp
Model pengembangan menurut Kemp(1977: 8-9), terdiri dari delapan langkah yaitu; (1) menentukan tujuan pembelajaran umum (TPU), (2) membuat analisis tentang karakteristik siswa, (3) menentukan tujuan pembelajaran khusus (TPK), oprasional, dan terukur,(4) menentukan materi/bahan pelajaran yang sesuai dengan TPK, (5) menentukan penjajagan awal (pre-assesment), (6) menentukan strategi mengajar belajar yang sesuai, (7) mengkomunikasi sarana penunjang yang diperlukan, meliputi : biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, (8) mengadakan evaluasi untuk mengontrol dan mengkaji keberhasilan program secara keseluruhan, yaitu pada: siswa, program instruksional, instrumen evaluasi/tes, dan metode
Diagram Model Pengembangan sistem pembelajaran menurut Kemp sebagai berikut

3. Model pengembangan menurut Dick dan Carey
Menurut Soekamto (1993: 45) model pengembangan Dick dan Carey terdiri dari sepuluh langkah yaitu; (1) mengidensifikasi tujuan pembelajaran, (2) melakukan analisis pembelajaran, (3) mengidensifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa , (4) menuliskan tujuan kinerja, (5) mengembangkan butir tes acuan patokan, (6) mengembangkan strategi pembelajaran, (7) mengembangkan dan memilih bahan pelajaran, (8) mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif, (9) merevisi kegiatan pembelajaran, (10) mendesaian dan melaksanakan evaluasi sumatif.
Diagram Model Pengembangan Pembelajaran menurut Dick dan Carey sebagai berikut:

4. Model pengembangan pembelajaran menurut Thiagarajan dkk.
Menurut Thiagarajan (1974:5) model pengembangan sistem pembelajaran terdiri dari empat tahap kegiatan yaitu: pendefinisian (define), perencanaan (design), pengembangan (develop), dan pendesiminasian (disseminate), sehingga model ini sering disebut Model 4-D (four D Model)
Adapun tahapan-tahapan Model 4-D tersebut sebagai berikut:
a. Tahap pendefinisian (define), terdiri dari : analisis awal-akhir (front-end analysis), analisis siswa (leaner analysis), analisis tugas (task analysis), analisis konsep (concept analysis), dan spesifikasi tujuan pembelajaran (specification of objektives).
b. Tahap perencanaan (design), terdiri dari : penyusunan tes (criterion-test construction), pemilihan media (media selection), penyusunan format (format selection), dan desain awal (initial design).
c. Tahap pengembangan (develop), terdiri dari: penilaian para ahli (expert appraisal) dan uji coba terbatas (developmental testing).
d. Tahap pendesiminasian (disseminate), terdiri dari: validasi tes (validation testing), pengemasan (packaging), dan penyebaran dan pemakaian (diffusion and adoption).
Berdasarkan uraian empat model pengembangan pembelajaran di atas, dalam proposal penelitian ini penulis menggunakan Model 4-D (Thiagarajan dkk, 1974: 3-9). Karena pada Model 4-D tahap-tahap yang harus dilakukan lebih khusus untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, lebih rinci dan sistematis. Sedangkan tiga model yang lainnya merupakan model pengembangan sistem pengajaran, yang berarti lebih luas dari model 4-D.
Diagram Model Pengembangan Pembelajaran menurut thiagarajan, Semmel, and Semmel (1974 : 5-9) sebagai berikut:

J. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam proposal penelitian ini adalah” hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural NHT lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal, saya devi mahasiswa S1 pend. Sains unesa. Apakah saya bisa minta judul buku Ruseffendi tahun 1992 dan penerbitnya. terima kasih. alamat email saya: wisnu_murti26@yahoo.com
terimakasih

Posting Komentar